BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

24 Oktober 2012

Touring Wisata Jakarta - Jogja 3 sd 7 Desember 2010

        Setelah sekian lama terjadwal dengan rutin, sepertinya ini adalah  moment terakhir bisa touring wisata…. Tepatnya tanggal 3 s.d 7 Desember 2010. Waktu itu saya mendapat kabar bahwa Bapak mengalami sakit. Jempol kaki Bapak mengalami infeksi akibat menginjak bara api, sehingga harus diamputasi. Perlu diketahui Bapak telah mengidap penyakit Diabetes sejak tahun 1985, waktu yang cukup lama  untuk bisa bertahan bagi pengidap Diabetes. Hal ini terjadi karena Bapak termasuk orang yang rajin diet dan olah raga. Pertama kali ketahuan mengidap Diabetes, ketika saya masih duduk di bangku kelas 3 SD di tahun 85. Bapak mengalami kejang dan sakit teramat hebat di kepala, Ibu sibuk memijitin kepala Bapak sambil memberikan obat pereda rasa sakit. Kami anak-anak juga membantu memijitin agar berkurang rasa sakitnya. Saking sakitnya Bapak menyuruh ibu untuk merefleksi kaki  dengan Proyektil Peluru Meriam yang sudah dijadikan Hiasan.
       Karena rasa sakitnya tidak kunjung hilang, maka diputuskan untuk membawa Bapak ke Rumah Sakit. Dengan menggunakan Mobil tetangga, kami membawa Bapak menuju RS DKT Dr. Soetarto Jl. Juwadi No. 19, Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta. Sepanjang jalan Bapak menusuk-nusukkan Proyektil Meriam di kakinya agar rasa sakitnya hilang. Kami merasa ngeri dan tidak tega melihat kondisinya yang demikian menderitanya. 
        Sesampainya di RS DKT, Bapak lantas dibawa ke UGD dan diadakan pemeriksaan. Saat itu untuk pertama kalinya saya masuk Rumah Sakit, saya paling anti dan ngeri dengan dunia Medis. Bau Obat dan Karbol  yang sangat khas menyengat di hidung. Melihat bentuk fisiknya, bangunan tersebut merupakan peninggalan jaman kolonial Belanda, Tembok Rumah Sakit yang sangat kokoh, umurnya sudah sangat tua, berbalut cat warna Putih membuat suasana makin sereem.
        Hasil pemeriksaan laboratorium, kadar gula Bapak sangat tinggi sehingga Bapak harus dirawat agar kadar gulanya kembali normal. Seminggu lebih Bapak Opname di RS DKT, ibu setia menunggu Bapak nginap di RS, sementara anak-anak pulang ke rumah dan membesuk secara bergantian.
         Di bulan Desember 2010 ini kondisi Bapak sudah benar-benar menurun, penyakit diabetesnya sudah dalam stadium tinggi, ditambah pula dengan usia Bapak yang menginjak 73 tahun, tidak memungkinkan lagi bertahan melawan penyakit yang sudah diderita sejak tahun 1985, ini berarti sudah 25 tahun perjuangan Bapak melawan penyakitnya, hingga akhirnya jempol kakinya harus diamputasi.
Bapak bersama orang2 tercinta

I miss u Dad.....

Menantu Tercinta

pak Rimin

      Mendengar kabar bahwa Bapak telah dioperasi maka saya bersama istri bertekad untuk pulang membesuk Bapak di Rumah sakit, sekaligus melaksanakan touring wisata yang sudah sekian lama tidak dijalankan. Untungnya anak sudah bisa ditinggal di rumah mertua, sehingga tidak ada masalah lagi yang menghalangi rencana keberangkatan kami.
         Tidak banyak persiapan yang kami butuhkan selain setting kendaraan dan belanja keperluan selama perjalanan. Untuk mesin sendiri cukup service karburator, sistim pengereman, sistim kelistrikan, ban dan cek part yang bergerak ( rantai, Gir, Baut Gir, Laker roda, tali kopling/gas) harus dipastikan semua dalam kondisi prima. Untuk jaga-jaga, saya menyiapkan spare part motor yang kemungkinan besar mengalami gangguan ( lampu, kabel kopling, spin / penyambung rantai, baut knalpot depan, busi, karbu cleaner ) dilengkap dengan kunci-kunci seperlunya.

Motor dan Perlengkapannya


Siap untuk  bertempur

          Sedangkan keperluan selama perjalanan, saya menyiapkan dua buah kaca mata yaitu kacamata Ray Ban untuk berkendara di siang hari dan kacamata bening untuk berkendara di malam hari. Lalu mengeluarkan aset penting dari lemari penyimpanan berupa Helm Ink Top Gun Half Full Face. Helm ini sangat cocok untuk touring jarak jauh, karena terbuat dari bahan yang berstandar Internasional sehingga sangat aman terhadap benturan, desainnya juga futuristik sehingga memudahkan bila pingin minum/makan tidak perlu lepas helm.  Lalu jaket Kulit, sepatu safety dan sarung tangan kulit wajib digunakan agar safety selama perjalanan, jaket Kulit sangat maksimal dalam menahan terpaan angin, disisi lain ketika terjadi accident akan melindungi kulit dari benturan maupun goresan aspal, hal ini sudah saya buktikan. Saya sudah mengalami 3 kali jatuh dari motor, yang pertama  tidak menggunakan peralatan safety sama sekali sehingga dampak yang ditimbulkan sangat besar, tubuh saya babak belur dicium aspal. Kecelakaan yang ke 2 maupun ke 3 saya sudah menggunakan perlengkapan safety dan hasilnya sangat signifikan, tubuh saya tidak mengalami luka sedikitpun walau jatuh dari motor dalam kecepatan tinggi. Dan yang paling penting untuk dibawa adalah Jas hujan, karena di bulan desember ini curah hujan masih lumayan tinggi. Sementara bekal makanan diperbanyak yang mengandung kalori seperti coklat, roti, kacang dan cemilan alakadarnya. Begitu pula minuman diperbanyak air putih dan energy drink.
Walau capek, tetap semangat

       Setelah semua sudah siap, maka saya istirahat / tidur dulu sambil menunggu matahari bergeser posisinya. Saya memilih untuk berangkat agak sore, karena pengalaman sekian lama touring Jakarta – Jogja akan lebih nyaman bila perjalanan pada malam hari. Keuntungan perjalanan di malam hari adalah lalu lintas lebih sepi, kecepatan lebih maksimal, udara tidak panas sehingga tidak kegerahan dan mesin tidak cepat panas (over heat) serta tiba di tempat tujuan keadaan sudah terang. Sedangkan kelemahan perjalanan di malam hari adalah ; tidak bisa lihat pemandangan, cepat mengantuk, banyak melewati daerah rawan, kalau capek tidak bisa sembarangan istirahat. Dengan pertimbangan tersebut maka perjalanan  pada malam hari akan lebih nyaman daripada siang hari.
               
          Kira-kira jam 3 sore kami start dari Kelapa Dua Depok, dari Depok kami menuju Jalan alternatif Cibubur, lalu mampir ke rumah Cikeas untuk mengambil MP3 Player untuk hiburan selama di perjalanan. Dari cikeas menuju Jl. Raya Cileungsi mengarah Bekasi Timur.  Lalu menyusuri Kalimalang hingga sampai di Cibitung. Cibitung belok ke kanan mengarah ke Cikarang – Cikampek – Patok Beusi – Ciasem – Losarang – Indramayu. Intinya kami melalui jalur Pantura. Sempat istirahat sebentar di Pom Bensin untuk makan malam dan minum kopi. Kami tidak mau berlama-lama istirahat, karena kalau kebanyakan  istirahat badan terasa lemas dan banyak waktu yang terbuang.  Memasuki kota cirebon kami mampir di Warung Nasi Jamblang langganan … tempat yang wajib disinggahi setiap touring, sekaligus bernostalgia.

Rehat di Pom Bensin Pantura

Mampir di Tempat Wajib Nasi Jamblang Cirebon

        Meninggalkan kota Cirebon sudah menjelang jam 8 malam, kondisi jalan yang rusak membuat motor kami pacu dengan kecepatan sedang. Sampai di pertigaan Tanjung lalu belalui jalur tengah belok ke kanan membelah Pulau Jawa ke arah Ketanggungan – Bumiayu – Ajibarang , di Ajibarang kami minum susu jahe di sebuah Pom Bensin. Perjalanan dilanjutkan lagi Purwokerto -  Wangon dan sampai di Jalur Selatan.

        Di jalur selatan sudah Pagi… lalu kami cari sarapan di Pinggir Jalan… endingnya sampai di Jogja sekitar pukul 6 pagi. Sempat foto-foto di depan Stasiun Rewulu, lalu Gunung Gedhe arena bermain waktu kecil ( pernah saya ceritakan di episode sebelumnya ).

 Nyampai di Stasiun Rewulu 
Di depan Stasiun Rewulu
mampir di Gunung Gedhe Nengokin Dhanyange

Di Pintu Masuk Gunung Gedhe

Panorama Diatas Jembatan Sungai Code.. Air bercampur Abu Vulkanik

Rumah Padat Penduduk di sekitar Sungai Code

"Sis Biker"

" Bro Biker "

" Sis and Bro lg mbecak menuju Malioboro"

Jalan-jalan teruuss " Tidak ada waktu yg terbuang"




23 Oktober 2012

Tongkrongan Gancahan

        Situasi guyub rukun sudah melekat bagi warga desa, hal inilah yang masih terpelihara hingga sekarang. Contoh nyata yang sering dilakukan oleh warga Gancahan adalah “Sambatan”. Ketika salah seorang warga membangun rumah, maka warga sekitar akan dengan sadar berpartisipasi bahu membahu bergotong-royong membantu sang pemilik rumah untuk membangun rumah. Begitu juga saat ada yang meninggal dunia, suasana duka citapun turut dirasakan oleh warga sekitar sehingga keluarga yang berduka merasa terhibur karena banyaknya warga yang bekumpul. “Endong” istilah ini bermaksud menemani warga yang berduka. Suasana ramai bisa berjalan sampai tujuh hari, warga juga senang karena bisa berkumpul sambil bercengkrama, yang berdukapun akan merasa senang karena ditemani banyak orang sehingga mau nggak mau sang pemilik rumah harus menyediakan makanan dan minuman untuk menjamu para tamu. Namun Endong sering disalahgunakan oleh para pelayat, karena bukannya nemenin keluarga yang berduka, justru malah dimanfaatkan untuk main kartu dan berjudi. Bahkan tak segan-segan mengundang bandar Cliwik untuk buka lapak disitu.... waaah.... pelanggaran nih. Tapi itulah hiburan yang membuat mereka betah begadangan. Sebab kalau tidak ada permainan tersebut, maka suasana akan terasa garing dan mengantuk.

        Selain kegiatan yang sifatnya tradisi, kegiatan ngobrol-ngobrol juga tak kalah serunya dilakukan oleh warga desa. Bagi warga dari orang tua sampai remaja, ngobrol sambil nongkrong adalah sebuah ritual wajib. Pada sore hari adalah saat yang asyik untuk nongkrong. Entah kenapa suasana pergantian cuaca dari terang menjadi gelap sangat kondusif untuk ngobrol sehingga desa Gancahan mempunyai beberapa tempat faforit untuk nongkrong / thethek.

       Lapangan Sawo adalah tempat terfavorit untuk nongkrong, kenapa ?? karena tempatnya luas dan terbuka, menikmati semilir angin sepoi sepoi di senja hari, sambil tidur-tiduran di rerumputan sangat nyaman ngobrol di lapangan Sawo. Yang bikin ngga nyaman adalah binatang nyamuk dan mrutu (sejenis serangga kecil seperti nyamuk) yang mengganggu asyiknya ngobrol. Entah kenapa Mrutu dan Nyamuk paling senang berkumpul diatas kepala kami.

        Prapatan   Gancahan  tepatnya  teras  depan  rumahnya  Agus “ Koclock ”  sangat  prestisius  untuk nongkrong. Tempatnya lebar dan dipinggir jalan, selain itu juga terdapat lincak yang cukup panjang sangat nikmat untuk nongkrong di sore hari. Apalagi ibunda Agus buka warung dirumah, sehingga tidak perlu jauh-jauh untuk membeli rokok dan makanan. Kadang yang tidak punya malu malah kasbon di warung. Untung keluarga Agus cukup dermawan, memberikan makanan dan minuman gratis untuk para anak nongkrong. Ditambah lagi tape recorder hitam merk “Simba” sudah dikeluarkan. Maka yang pingin dengerin lagu favorit bisa langsung stel kaset/radio. Karena anak nongkrong punya aliran lagu sendiri, maka harus antri masukin kasetnya. Agus lebih suka lagu-lagu Iwan Fals, saya suka lagu Rock / Metal, Dempok suka lagu Pop Jadul, Pelog suka lagunya Betaria Sonata, Kenting suka lagu dangdut dll. Sehingga anak nongkrong jadi saling suka lagu-lagu berbagai aliran. Yang paling royal adalah Dempok, pernah suatu hari datang membawa buah durian sekeranjang. Sontak kami senang karena ada acara pesta durian, lumayan …. Kapan lagi bisa makan durian gratis. Tapi seminggu kemudian bapaknya Dempok datang kesitu untuk mencari sepeda yang sudah seminggu tidak pulang ke rumah. Setelah di interogasi, akhirnya Dempok ngaku kalau sepeda itu sudah di jual dan uangnya sudah dibelikan buah durian. Jiaah.. ternyata durian rasa Sedel…. Jiampuut….

         Rumahnya Pak Ri… juga menjadi tempat tongkrongan bagi para senior. Rumah yang tidak terlalu luas ini sangat nyaman untuk ngumpul. Lokasinya 200 meter ke selatan dari prapatan Gancahan. Memang tidak pas di pinggir jalan, tempatnya teduh dan terlindung pepohonan yang rindang. Nah para senior lebih senang nongkrong disini, lebih sepi dan tidak berisik seperti di Prapatan. Para yunior kurang cocok nongkrong disini, karena yang diobrolkan kurang asyik untuk disimak, istilahnya obrolan tingkat tinggi lah…

        Selain di  Prapatan dan di Rumah Pak Ri, ada satu tempat lagi yang sering digunakan untuk nongkrong, yakni Kuburan “Suruh“ .  Nah… yang satu ini tempat favorit untuk Uka-Uka…. Tak banyak yang berminat untuk nongkrong disini, tempatnya lumayan angker. Hanya orang-orang tertentu saja yang suka nongkrong disini, terutama yang menggandrungi togel. Sampai sekarang saya masih belum tau tehnik dan caranya meminta nomor kepada penghuni makam. Mosok tanya pada setan..... kalau mau uang ya.... kudu Kerja dong.... ya nggak ?????


07 Agustus 2012

Mercon Bumbung


Bulan Puasa telah tiba….. inilah saat yang telah ditunggu-tunggu karena di bulan puasa ada satu tradisi yang sebenarnya dilarang pemerintah namun dilegalkan oleh budaya setempat… Apa itu ??? Tradisi menyalakan petasan dan Meriam yang terbuat dari bambu alias “ Mercon Bumbung “.
                Berbekal sebuah gergaji dan Arit, saya bersama temen-temen antara lain ; Pomo, JP, Mbendhul, Primbon, Sugeng dan Mas Opik bergerak menuju ke kebun bambu atau disebut “ Dapuran Pring “ untuk mencari pohon bambu yang akan kami jadikan Meriam. Lokasi Pohon bambu berada di belakang kuburan di tengah kampung Gancahan. Lalu kami mulai memilih bahan Meriam berupa pohon yang sudah tua dan ukurannya agak besar. Ada beberapa jenis bambu yang bisa dijadikan Meriam, diantaranya Bambu Apus dan Bambu Petung. Untuk mendapatkan suara Meriam yang menggelegar maka kami memilih jenis Bambu Petung yang ukurannya paling besar.
                Bambu Petung mulai kami pilih dan amati dari bawah ke atas,  dilihat ujung pohonnya  miring kemana, hal ini dilakukan untuk mengetahui arah robohnya bambu. Dan kami harus mulai memotong di kebalikan dari arah robohnya bambu, sebab kalau kami tidak hati-hati bisa jadi kami ketimpa robohannya. Lalu kami mulai memotong bagian bawah / bongkot pohon bambu dengan gergaji. Srek …Gong... Srek…  Gong .. Srek.. kira-kira begitulah bunyi suara gergaji memotong bambu, sesekali kami melihat ke atas memperhatikan goyangnya pohon, ketika pohon bambu sudah mulai habis terpotong maka pohon mulai roboh dan kami harus mempercepat menggergaji pohon sampai putus. Dan….. Gusraaaaggg… Gedebum… pohon bambu roboh ke samping.
                Setelah pohon itu roboh, maka dipotong lagi mulai dari ujung bawah ke atas sampai panjangnya kira-kira 1,5 meter. Kemudian kami mulai memasukkan tongkat / linggis dari ujung bagian atas untuk melubangi ruas batang bambu. Tidak semua ruas kami lubangi, harus disisakan ruas paling akhir untuk menampung minyak tanah sebagai  pemicu ledakan.  Diatas ruas yang paling bawah kami buat lubang ukuran 2 cm persegi yang berfungsi untuk memasukkan minyak tanah dan menyalakan Meriam.
                Meriam Bambu sudah jadi, lalu beramai-ramai kami gotong meriam tersebut menuju kebun dibelakang rumah kami. Kebun milik Mbah Wiro memang cukup luas, disana terdapat pepohonan yang cukup rindang sehingga menjadi tempat yang strategis untuk bermain. Sampai dikebun Mbah Wiro, rupanya diujung utara sudah ada serombongan teman kami yang sudah mulai memasang Meriam. Mereka adalah Margono, Gunadi, Supri dan mereka inilah yang akan  menjadi rival kami dalam bermain Meriam. Segera kami menuju sisi selatan Kebun dan mencari tempat yang nyaman di bawah pohon kelapa.
                Moncong Meriam kami ganjal dengan batu lalu diarahkan ke utara persis mengarah ke kubu pertahanan musuh. Supri menyobek daun Pisang untuk membuat corong agar mudah memasukkan minyak, Mbendul kebagian mengisi Amunisi berupa minyak tanah yang diambil dari dapur rumahnya.  Amunisi mulai diisi kira-kira setengah liter. Tak lupa kami menyalakan lampu Teplok yang sudah dibuka kacanya untuk menyalakan Meriam.


               
         Meriam Bambu tidak bisa langsung berbunyi dengan keras, karena harus dipanasi terlebih dahulu, caranya adalah dengan memasukkan api kedalam lubang pengisian yang sudah dibuat sebelumnya lalu membuang asap dengan meniup lubang kecil tersebut. Dibutuhkan waktu kira-kira 10 menit untuk memanaskan Minyak dan Meriam agar bisa meledak.   Setelah mulai panas, dan ketika api dimasukkan ke dalam lubang, maka akan terdengan bunyi menggelegar.  Saat itulah kami mulai bersorak-sorak dan loncat-loncat kegirangan.

                BUUM……. Begitulah bunyi Mercon Bumbung yang sudah panas…. Lalu kubu Musuh tak kalah hebatnya membalas serangan kami. Bunyi Meriam Bambu bersaut-sautan membuat acara perang makin seru. Nampaknya bambu yang digunakan oleh kubu musuh lebih besar dari bambu yang kami pakai.  Pomo punya ide .. Bagaimana kalau kita balas serangan musuh dengan amunisi karbit. Tanpa pikir panjang dan tanpa di aba-aba, kami semua langsung mengangguk. Gotek yang saat itu baru datang langsung saya suruh untuk minta karbit ke bengkel Las pak Barmin. Tak lama kemudia Gotek datang membawa plastik berisi bongkahan Karbit.
                Munisi minyak tanah kami ganti dengan munisi Karbit. Minyak tanah dikeluarkan lalu diganti dengan air, bongkahan karbit mulai dimasukkan ke dalam lubang pengisian dan ditutup rapat dengan daun. Giliran pomo mengambil bilah bambu yang agak panjang untuk menyalakan Meriam bermunisi Karbit. Kami mulai menutup telinga dengan kedua tangan…. Dan BUUUUUUMMMM…… bunyi meriam terdengar keras sekali…..kami semua melompat kegirangan sambil teriak MERDEKAAA…… sementara di ujung sana kubu musuh mulai membubarkan diri dan menyerah kalah……. Sungguh serunya acara perang Mercon Bumbung sore itu.

Gunung Gede


Dari lokasi gunung Gepleng Gancahan, kita bergerak kearah selatan, maka pada jarak sekitar 350 meter disamping kanan jalan, kita akan menjumpai lagi sebuah gunung. Gunung yang satu ini memiliki tinggi sekitar 10 meter dari permukaan tanah. Karena ukurannya lebih besar dari gunung sebelumnya maka gunung ini dinamai Gunung Gede ( kaleee ). Tapi bener lho… warga sekitar menamainya dengan gunung Gede… sumprit deh.

Wajah gunung Gede Desember 2009 masih sangat rindang
Pintu masuk gunung Gede Desember 2009 saat saya touring Wisata Jakarta - Jogja

Meskipun dipuncak gunung Gede berupa dataran, namun bentuk gunung Gede lebih mengkerucut beda sekali dengan tampilan gunung gepleng yang cenderung datar. Pada tepian dasar gunung dan lerengnya juga ditumbuhi pepohonan yang tidak selebat gunung gepleng.  Dilereng sebelah timur yang berdekatan dengan jalan raya terdapat sepasang buk yang sekaligus berfungsi sebagai pintu gerbang menuju kaki gunung Gede.
Untuk menaiki puncak gunung Gede tidaklah terlalu sulit, kita bisa menaiki anak tangga yang berada di belakang buk tersebut. Anak tangga berupa undakan dari batu dan semen yang sengaja dibuat oleh pemilik maupun ahli waris tanah di lokasi gunung Gede. Undakan tersebut dibuat dengan ketinggian sekitar 30 cm tiap anak tangganya, sehingga tidak memerlukan energi extra untuk meniti anak tangga tersebut.
Di puncaknya terdapat dataran yang cukup luas dan ditumbuhi pepohonan. Ada pohon cemara, wojo, beringin dan rerumputan. Dan yang lebih unik lagi adalah, dipuncak sebelah barat terdapat makam keluarga. Makam tersebut diberi nisan dan dikelilingi tembok permanen. Entah siapa gerangan jasad yang dimakamkan di dalam pusara tersebut, yang jelas keberadaan makam tersebut sudah cukup lama. Meskipun terdapat makam tua, namun gunung Gede tidak mengeluarkan aura mistis sedikitpun (terutama pada siang hari….. nenek-nenek juga tau….hehehe ).
Berdiri di puncak gunung Gede sambil menikmati panorama persawahan nan indah disekeliling gunung dapat menciptakan suasana rilex, apalagi ketika angin bertiup kencang maka akan terdengar suara angin menerpa daun cemara mengeluarkan suara yang sangat merdu terdengar di telinga……hingga menciptakan rasa nyamanan dalam hati. Karena suasana inilah maka tak jarang gunung Gede menjadi tempat tujuan banyak orang. Mulai dari serombongan anak sekolah dengan kegiatan pramukanya, rombongan keluarga yang sekedar mencari udara segar sambil menggelar tikar untuk pindah makan siang, atau anak-anak sekolah minggu yang ingin merasakan suasana khotbah di bukit, bahkan sepasang muda mudi yang sedang dimabuk cinta sering memadu kasih di puncak gunung Gede. Hal ini sangat wajar terjadi di gunung Gede, mengingat suasana puncak gunung Gede mampu membius hati dan pikiran para pengunjung untuk berlama-lama berada disitu.


 Gunung Gede kini sudah gersang


 Meski tidak serindang dulu, Gunung Gede tetap asri untuk dikunjungi

Dulu sewaktu masih tinggal di Gancahan, saya sering main di gunung Gede bersama teman-teman sebaya. Biasanya kami ke puncak gunung Gede untuk main sambil tidur-tiduran di puncaknya. Pernah suatu hari kami tiduran diatas dari siang hingga menjelang sore hari, ketika bangun kami geragapan dan bergegas pulang karena takut dimarahi orang tua.
Lebih nyleneh lagi adalah hal yang dilakukan oleh salah satu temenku yang bernama Gotek…  dengan berbekal ilmu tenaga dalam yang didapatnya secara instant, dia mencari batu akik di gunung gede. Setelah bermeditasi bak seorang pendekar, mulutnya komat kamit membaca mantra yang tidak jelas kalimatnya. Setelah itu dia berdiri dan mulai bergerak-gerak seperti mengeluarkan jurus silat. Entah jurus apa yang dia keluarkan soalnya setauku Gotek tidak pernah belajar pencak silat. Mungkin dia mendapatkan jurus itu dari gurunya atau mungkin juga terinspirasi Brahma Kumbara yang setiap hari disiarkan di Radio Nasional. Entah berapa jurus yang sudah dia keluarkan yang jelas badannya sudah berkeringat sebesar biji jagung dan raut mukanya memerah. Saya melihatnya antara ketawa dan serius karena jurusnya sangat aneh dan tidak ada seninya sama sekali. Tetap saja Gotek mengulang-ulang gerakannya, diakhir jurusnya dia mengarahkan tangannya pada pohon beringin lalu menarik tangannya seperti sedang menarik sesuatu  lalu….. tiba-tiba Gotek mundur beberapa langkah dan Gedubraggg… jatuh terpental kebelakang dan guling-gulingan di tanah. Beberapa saat setelah itu dia mulai berdiri sambil menggerutu “ Sialan akiknya dijaga kakek sakti, aku ga kuat menariknya “….. Jiaaah umpatku..…. serius loe ??? Itu tadi bener-bener terpental apa acting tanyaku ??? Dengan wajah serius Gotek menjawab “ Tenin… aku tadi diserang sama Kakek Sakti penunggu pusaka “….. Yaudah yang waras ngalah ( batinku )…. Kalau mengingat peristiwa itu … rasanya saya jadi ketawa sendiri… Ngapain capek-capek cari batu akik yang ga jelas keberadaannya di gunung Gede… Mendingan pas pasaran PON kita ke pasar Godean, ga usah bawa kembang ataupun menyan… cukup bawa uang “goceng” ke tempat penjual akik… Pilih sendiri, mau yang warna warni juga ada…. Dasar Gotek … ngapusiiiii……!!!!


Bakule Akik pasar Godean

17 Juli 2012

Gunung Gepleng Gancahan

   
        Yang akan saya ceritakan saat ini adalah Gunung Gepleng yang berada di selatan desa Gancahan V Sidomulyo Godean.  Lagi-lagi masyarakat desa tidak melihat ukuran besar kecilnya Gunung, asal ada gundukan tanah yang lebih tinggi dari dataran sekitarnya, maka masyarakat akan menyebutnya sebagai Gunung, bukan menyebutnya Gunung Cilik (Bukit).

       
       Kalau kita menyusuri jalan raya sebelah barat lapangan Sawo Gancahan V menuju ke arah selatan, maka pada jarak sekitar 300 meter dari lapangan Sawo tepatnya 100 meter di sebelah timur jalan raya ditengah persawahan warga, kita akan melihat gundukan tanah yang ditumbuhi pepohonan nan rindang. Bukit yang tingginya tidak sampai 3 meter ini dijuluki dengan Gunung Gepleng. Untuk memasuki lokasi gunung Gepleng, harus meniti pematang sawah. Bagi warga sekitar, meniti pematang sawah sama saja berjalan di tanah datar biasa, bahkan tidak hanya berjalan, disuruh berlaripun mereka akan sanggup. Namun bagi warga perkotaan, jangan coba-coba untuk berlari di pematang sawah, bukannya akan sampai di tempat tujuan, bisa-bisa akan terpeleset dan nyemplung di lumpur sawah.

       Memasuki areal gunung Gepleng, maka disekelilingnya akan terlihat pohon rindang dan semak belukar yang cukup rapat, karena perbatasan antara gunung dan sawah, tanahnya cukup gembur maka pohon bambu dan  pisang juga tampak terlihat subur disekeliling Gunung Gepleng. Untuk memasuki ke areal gunung Gepleng akan lebih mudah bila melalui melalui jalan setapak yang berada di sisi utara dan selatan. Namun bisa juga melalui melalui sisi timur dan barat asal mau menerobos semak berduri dan pohon bambu. Di tengah gunung Gepleng ada sebuah dataran terbuka yang cukup luas untuk mendirikan sebuah rumah. Pertanyaannya … siapa ya yang berani tinggal sendirian di tengah-tengah sawah dan jauh dari tetangga.

                Karena pohonnya cukup rindang, maka di siang hari gunung Gepleng banyak didatangi oleh para petani yang akan beristirahat siang. Mereka menggelar bekal yang telah dibawa dari rumah atau kiriman dari sang istri tercinta untuk bersantap siang. Nyanyian burung pipit, burung gereja dan kicauan burung kutilang terdengar seperti alunan musik klasik, menambah suasana santap siang menjadi nikmat. Walaupun kelihatannya mereka santai dan bercengkrama menikmati santap siang, namun mereka tetap waspada terhadap keadaan sekelilingnya, karena di gunung Gepleng banyak dihuni oleh ular berbisa.

                Karena banyak dihuni ular berbisa,  tak jarang banyak warga datang ke gunung Gepleng untuk berburu ular dan burung, motif mereka beraneka ragam, ada yang bertujuan untuk mencari lauk iwak ulo (daging ular), ada pula yang mencari ular jenis tertentu untuk dijual. Tetanggaku namanya Mas Sutar,  mempunyai hobi menangkap ular. Mulai dari ular yang tidak berbisa sampai yang berbisa dia tangkap. Dia juga pernah menangkap seekor ular berwarna putih yang sempat dipelihara di rumah, namun entah kenapa tak beberapa lama ular itu dilepaskan kembali ke gunung Gepleng.

                Lain lagi ceritanya Klimuk dan Andri, di kampungku mereka dijuluki pemburu sejati. Bermodalkan Senapan angin tanpa teleskop, mereka bisa mendapatkan beberapa ekor tupai dan burung di gunung Gepleng ini. Mereka belajar menembak secara otodidak, namun keahliannya dalam menembak tepat tidak kalah dibandingkan dengan petembak professional lulusan Perbakin, ataupun tentara yang baru lulus dari pendidikan. Sorot mata mereka sangat tajam dan dapat melihat sasaran pada jarak yang jauh.  Kalau mereka sudah berburu, maka tupai dan burung siap-siap untuk masuk ke Wajan….

                Membayangkan suasana gunung Gepleng membuatku serasa kembali ke masa kecilku, ingin rasanya aku menginjakkan kaki disana, menikmati semilirnya angin dan kicauan burung. Kapan ya bisa kesana lagi ????

 by : Ariwibowo
                 
               

04 Juli 2012

Gunung Pule Kemusuk Argomulyo


Gunung Pule saat ini ( Foto kiriman dari Agus Juragan seko Semarang )


             Gunung Pule terletak di pinggir Jalan Raya menuju Desa Kemusuk Kec. Argomulyo Kab. Bantul DIY. Kita ketahui bersama, Kemusuk merupakan desa kelahiran Alm. Bpk. Soeharto. Sekedar intermezo, saya akan sedikit menceritakan Biografi Pak. Harto. Karena Gunung pule ini memiliki kenangan sendiri bagi Alm.  Bpk. Soeharto.

           Pada 8 Juni 1921,  Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul , Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh ayahnya, Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki itu diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya bercerai tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutejo.

          Belum genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena ibunya sakit dan tidak bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari Soeharto kecil untuk berdiri dan berjalan. Soeharto juga sering diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong Soeharto kecil di punggung ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak pernah dilupakan Soeharto. Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.

         Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan. Lalu, pindah ke SD Pedes lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.

Kembali ke Gunung Pule.

           Meskipun lebih pantas disebut bukit pule karena ukurannya yang tidak terlalu besar, namun masyarakat sekitar sudah terlanjur menyebutnya dengan " Gunung Pule ".  Gunung Pule merupakan komplek pemakam keluarga. Di bukit ini telah dimakamkan Ny Sukirah Atemopawiro (Ibunda Alm. Bpk. Soeharto) yang meninggal pada tahun 1946, sedangkan makam ayahandanya berada di Makam Sikepuh, Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul atau 1 kilometer sebelah seletan makam ibudanya

            Karena merupakan makam keluarga dekat Soeharto maka bukit yang tadinya gersang dan angker, telah disulap menjadi komplek pemakaman yang indah dan asri dan terkesan jauh dari suasana angker... ( Bir kalee ). Dan untuk mempertahankan keasrian makam ini maka  gunung Pule mempunyai juru kunci yang setia merawat, menjaga serta membersihkan area pemakaman. Warga sekitar yang ingin sekedar nyekar ataupun ngeyup, harus minta ijin juru kunci terlebih dahulu untuk bisa masuk ke area pemakaman ini.

          Dulu, disaat-saat tertentu, keluarga besar Pak Harto sering nyekar ke makam ini. Yang paling sering datang ke Makam ini adalah Pak. Probosutejo (Adik Pak Harto). Sebelum Pak Probo maupun Pak. Harto datang, R Noto Suwito (Lurah desa Kemusuk / adik kandung Pak. Harto) beserta perangkat Desa setempat sudah sibuk mempersiapkan acara penyambutan rombongan. 

        Nah ritual nyekar Pak Probo inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh warga sekitar, tidak hanya warga kemusuk saja yang datang ke gunung Pule ini, akan tetapi warga Gancahan rela jauh-jauh datang berpanas-panasan untuk menyaksikan kedatangan adik kandung orang nomor-1 di Republik Indonesia ini. Bukan Pak Probo namanya kalau tidak ada acara bagi-bagi uang ke warga, maka setiap selesai nyekar, Pak Probo memerintahkan ajudannya untuk mengeluarkan Koper besar dari  dalam Mobil. Koper itu berisi uang Gepokan. Kala itu nilai rupiah masih cukup tinggi, sehingga uang 3.000 rupiah sudah sangat berarti bagi warga sekitar yang mayoritas sebagai petani. Termasuk sayapun sering ikut masuk nyelip di antrian warga,  pulang sekolah saya rela menahan lapar, haus dan panasnya matahari, demi ikut mengantri jatah saweran dari Pak Probosutejo Sang Konglomerat Kaya dijaman itu. 

          Terakhir kali, Pak Harto sempat nyekar ke makam ini pada tanggal 23 September 2005, Pak Harto nyekar ke makam kedua orang tuanya dengan didampingi Sigit Hardjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Ny Siti Hardiyanti Roekmana atau lebih dikenal dengan sebutan Mbak Tutut dan Mamiek.

Pak Harto didampingi keponakannya Aryo Winoto dan pengawalnya 
menuruni tangga makam Gunung Pule 


Pak Harto bersama Adiknya. R. Noto Suwito ( Pak Wito ) 
dan Pengawal Setianya Letkol CPM (Purn) IGN Suweden mengawal Pak Harto sejak tahun 1982

17 Juni 2012

GKJ Karangjoso Gereja Tertua di Jawa



            Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangjoso yang terletak di Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo ini merupakan Gereja Kristen Jawa tertua di Pulau Jawa. Gereja ini dibangun oleh Kyai Sadrach pada saat Indonesia berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

        Bagaimana jemaat Kristen Indonesia perdana terbentuk itu pun mengalami perjalanan yang panjang. Pada saat itu, Kyai Sadrach tidak menganut agama Kristen. Dalam iman yang bercampur dengan keyakinan Kejawen, suatu saat beliau memperoleh mimpi yang tidak biasa. Mimpi itu diterjemahkan oleh seorang Kristen dalam sebuah kalimat kutipan Yohanes 11 : 25. Ayat itulah yang menjadi dasar Kyai Sadrach untuk meyakini bahwa selama ini Sang Juruselamat-lah yang sering menjumpainya melalui mimpi.

      Untuk itu, beliau berikrar untuk mengabarkan kabar gembira ini kepada masyarakat sekitar. Karena berbasis Kejawen, maka pendirian Gereja maupun metode penyampaian Injil juga berpenampilan Jawa. Dapat terlihat di atas, Gereja berbentuk menyerupai joglo dengan atap bertingkat tiga. Jika dilihat sepintas, bangunan tersebut mirip dengan masjid. Hanya saja Mustaka yang terletak di atap diganti dengan tanda Salib. Salibnya pun berbeda, tidak seperti yang biasa kita lihat di gereja-gereja yang berbentuk tanda †. Salibnya merupakan persilangan antara senjata Cakra (milik Prabu Kresna) dan panah Pasopati (milik Arjuna). Di mana masing-masing senjata itu memiliki makna yang identik dengan tanda Salib.


       Dalam mengabarkan berita suka cita, Kyai Sadrach bahkan menggunakan wayang dan tembang-tembang Jawa. Bahkan doa "Bapa Kami" pun disulap menjadi tembang Macapat berjudul "Pucung Pandonga Rama Kawula". Dengan cara akulturasi budaya ini, maka jemaat Kristiani berkembang dengan pesat. Akan tetapi, cara ini tidak disukai oleh Zending (hierarki Gereja Kristen Eropa - Belanda). Terjadi pertentangan antara Zending dengan Kyai Sadrach pada masa itu. Meskipun demikian, Kyai Sadrach tidak berputus asa. Beliau tetap meneruskan kabar suka cita ini dengan cara beliau. Jemaat yang semula kecil, terus bertambah dan hingga kini dikenal dengan "Gereja Kristen Jawa".

Museum




      Di belakang gereja, terdapat sebuah pendopo kecil yang menjadi teras rumah Kyai Sadrach pada masa lalu. Rumah tersebut kini difungsikan sebagai museum bukti sejarah napak tilas Kyai Sadrach di Purworejo. Di sana terdapat ruang tempat Kyai Sadrach berdialog, meja tempat Kyai Sadrach menulis dan menyiapkan khotbah, hingga tempat tidur Kyai. Peninggalan-peninggalan beliau pun tersimpan dengan rapi di ruangan kecil bernuansa Jawa.

     Di sekitar gereja dan museum, terdapat rumah retreat dan tempat tinggal anak angkat Kyai Sadrach beserta keturunan-keturunannya. Mereka lah yang menjadi "juru kunci" gereja Kyai Sadrach yang kini disebut dengan GKJ Karangjoso.

Penutup

     Pernah terdengar anggapan bahwa agama Kristen masuk melalui penjajahan. Itulah mengapa yang menjadi salah satu latar belakang perpecahan agama yang terjadi di Indonesia. Padahal, menurut yang saya dapat dari tempat ini: memang benar bahwa agama Kristen (baik Katolik maupun Protestan) masuk bersamaan dengan penjajahan. Tidak seperti agama Islam yang masuk melalui dakwah atau dengan cara yang lebih baik ketimbang penjajahan, maupun agama Hindu dan Buddha yang berkembang pada jaman perdagangan. Akan tetapi dapat terlihat bahwa masuknya agama Kristen ada yang melalui akulturasi budaya.

       Sebagai contoh, pastor Van Lith yang menyebarkan agama Katolik bahkan tidak melakukan cara-cara kolonial atau pun pemaksaan. Akan tetapi, dengan melakukan akulturasi budaya Jawa, lahirlah masyarakat Katolik ala Jawa di daerah Muntilan. Di sana kemudian didirikan Gua Maria Sendangsono. Tidak jauh berbeda dengan Kyai Sadrach yang menyebarkan agama Protestan melalui akulturasi dengan budaya Jawa. Semangat yang mereka kobarkan bukanlah niat untuk memaksakan kehendak atau pun ideologi. Mereka hanya bersaksi mengenai kebenaran yang mereka terima.

Sejarah Sendang Klangkapan

           

         Asal-usul Sendang Klangkapan, ada dua versi terkait legenda Dusun Klangkapan. Versi yang pertama datang dari cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, yaitu bahwa sendang ini muncul ketika Sunan Kalijaga sedang mampir di sekitar sini dan mencari air untuk wudhu. Karena tidak menemukan sumber air, maka beliau nglokop (mengelupasi) lapisan tanah. Dari tanah tersebut, muncul air yang cukup deras dan dapat dipergunakan untuk wudhu. Dari istilah nglokop tersebut, akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi klangkapan.

          Sedangkan cerita dari versi kedua cukup panjang. Dalam situs pariwisata Jogja, Drs. H. Pardi Suratno, M. Hum dalam bahasa Jawa menuliskan asal mula Dusun Klangkapan. Bermula dari seorang budiman bernama Ki Tunggulwana yang menjadi pelopor desa membuka lahan yang dulunya berupa hutan menjadi pemukiman dan persawahan. Tempat tersebut menjadi semakin ramai. Menurut wahyu yang diterima Ki Tunggulwana, tempat ini akan tetap subur dan penuh damai sejahtera asalkan seluruh warga saling tolong menolong dan mensyukuri anugerah yang diberikan oleh Tuhan.


          Dengan adanya rejeki yang berlimpah, beberapa warga mengusulkan untuk diadakan ritual bersih desa untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan. Rencana ini diterima baik oleh Ki Tunggulwana, sehingga acara bersih desa akan diselenggarakan pada hari Selasa Kliwon (Anggara Kasih) waktu itu. Ketika upacara tersebut dilangsungkan, muncullah dua orang -pria dan wanita- berbusana compang-camping dan sakit kulit. Mereka berdua meminta makan di tengah-tengah acara tersebut. Merasa terganggu dengan aroma kedua orang tersebut, Jagal Kasusra dan gengnya mengusir kedua orang itu. Namun kedua orang itu tidak mau pergi karena ingin meminta sedikit makanan. Semakin risih, Jagal Kasusra yang dipanas-panasi rekan-rekannya pun menghajar kedua orang itu hingga tewas. Tewasnya kedua orang itu menimbulkan keributan, dan akhirnya Ki Tunggulwana pun turun tangan.

         Ki Tunggulwana kecewa dengan sikap Jagal Kasusra yang tidak mengindahkan perkataannya, yaitu harus menjaga sikap dan saling tolong menolong, malah sebaliknya -membunuh dua orang yang tak bersalah. Ki Tunggulwana memerintahkan beberapa warga untuk menguburkan dua jenasah tersebut dan diadakan ritual agama. Tanpa rasa bersalah, Jagal Kasusra dan gengnya mengambil kedua jenasah tersebut dan dibuang di sungai. Melihat kejadian ini, Ki Tunggulwana mencari kedua jenasah yang dihanyutkan di sungai tersebut tetapi tidak ditemukan. Ki Tunggulwana dan warga desa pun menyesali kejadian ini.

         Beberapa minggu terasa biasa-biasa saja, namun tidak lama kemudian bencana pun datang. Semua hewan ternak lumpuh dan terkena penyakit kulit. Seluruh warga pun panik. Seseorang di antaranya yang bernama Ki Sura meminta petunjuk dari Ki Tunggulwana. Menurut Ki Tunggulwana, kejadian ini terkait dengan kematian dua orang tak bersalah ketika acara bersih desa yang lalu. Ki Tunggulwana menyarankan seluruh warga desa untuk memandikan seluruh hewan ternaknya di sebuah sungai di tepi desa. Akan tetapi, sungai tersebut telah mengering. Ki Tunggulwana pun menyebutkan bahwa peristiwa yang sama pernah terjadi di Desa Tempel.

          Di tengah kekacauan yang terjadi di desa, seorang bernama Ki Naya berkata bahwa ada orang yang sepertinya mampu mengatasi kekacauan ini, namanya Sunan Kalijaga. Namun Ki Tunggulwana meragukan hal ini, beliau pun pergi dan bertapa di suatu tempat berhari-hari tanpa diketahui oleh seluruh warga. Setelah beberapa hari, Ki Tunggulwana pun kembali. Warga yang tadinya kalang kabut menjadi senang kembali. Ki Tunggulwana menyampaikan beberapa penglihatannya kepada para warga. Yang pertama, mereka harus mengucapkan syukur kepada Tuhan melalui bersih desa yang harus diadakan setiap tahun. Yang kedua, mereka juga harus menjaga sikap serta tidak menyakiti orang lain. Yang ketiga, mereka harus beribadah kepada Gusti Allah. Dengan melakukan ketiga hal tersebut, niscaya Ngara-ara (nama wilayah tersebut waktu itu) dan Seyegan tidak akan terkena bencana serupa. Ehem, satu lagi, para warga entah laki-laki atau perempuan, entah tua atau muda diharapkan pipis di bawah pohon beringin yang ditunjuk oleh Ki Tunggulwana.


         Keesokan harinya, para warga yang mau pipis dikejutkan oleh munculnya dua sendang di bawah pohon beringin tersebut. Sendang besar yang terletak di utara selanjutnya disebut sendang lanang (laki-laki) dan sendang kecil yang terletak di selatan selanjutnya disebut sendang wadon (perempuan). Para warga yang heran akan kejadian tersebut melaporkan kepada Ki Tunggulwana. Ki Tunggulwana pun hanya menjawab bahwa hal ini sudah ada di dalam wahyu yang ia terima. Ki Naya pun meminta Ki Tunggulwana untuk memberi nama kedua sendang tersebut. Karena terletak di bawah pohon beringin besar yang sudahnglingkap (terkelupas) karena sudah terlalu tua, maka sendang tersebut diberi nama Sendang Klangkapan yang mengalami pergeseran ucapan dari kata nglingkap.

15 Juni 2012

Sejarah desa Tumut Moyudan Sleman

     Makam Kyai dan Nyai Tumut terletak di Dusun Tumut, Kalurahan Sumbersari, Kecamatan, Moyudan, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY. Makam ini kira-kira berada pada jarak 3 kilometer di sisi selatan Pasar Godean.

      Makam Kyai dan Nyai Tumut telah diberi cungkup cukup bagus. Cungkup terbuat dari bangunan tembok berbentuk huruf U. Pada sisi selatan cungkup dengan sengaja tidak diberi dinding tembok atau pintu. Jadi, bagian pada sisi selatan cungkup dibiarkan terbuka. Makam keduanya terletak pada sisi utara-timur dari kompleks makam di dusun tersebut. Keletakan makam berada pada sisi atas bagian barat dari irigasi yang melintas di Dusun Tumut.


       Ukuran cungkup makam sekitar 3 m x 3 m. Tinggi tembok cungkup sekitar 1,5 m. Nisan dari kedua tokoh tersebut diletakkan saling berdampingan. Nisan terbuat dari batu andesit dan berbentuk sama. Ukuran panjang batu nisan dari keduanya sekitar 1,6 m, lebar 60 Cm, dan tinggi hingga kepala jirat sekitar 70 Cm. Dinding bagian dalam dan lantai dari makam ini dilapisi keramik warna cokelat muda serta pelisir dinding bagian dalam berwarna cokelat tua.

KYAI TUMUT DAN TERJADINYA DUSUN TUMUT, MOYUDAN, SLEMAN


       Menurut sumber setempat Kyai dan Nyai Tumut adalah tokoh dari sebuah kerajaan. Hanya saja sumber setempat tidak bisa menjelaskan dari kerajaan manakah kedua tokoh ini. Sekalipun demikian, ada yang meyakini bahwa keduanya berasal dari Kerajaan Yogyakarta. Kecuali itu sumber setempat juga menyebutkan bahwa keduanya semula ingin menyeberang ke Sungai Progo untuk tinggal hingga meninggalnya di sisi barat Sungai Progo. Akan tetapi ketika mereka akan menyeberangi Sungai Progo kebetulan Sungai Progo sedang mengalami banjir besar. Usaha penyeberangan ini merka urungkan.

KYAI TUMUT DAN TERJADINYA DUSUN TUMUT, MOYUDAN, SLEMAN

       Akhirnya mereka tinggal di sebuah dusun yang kemudian dikenal sebagai Dusun Tumut ini. Penamaan dusun ini tidak lepas dari usaha dan kiprah mereka dalam membuka wilayah setempat yang semula merupakan hutan dan tanah yang tidak tergarap. Akhirnya mereka pun meninggal di dusun yang mereka buka dan kembangkan. Untuk mengenang jasa keduanya, maka dusun yang mereka buka itu dinamakan Dusun Tumut.


      Disebutkan pula masa hidup Kyai dan Nyai Tumut sezaman dengan Kyai Wirojombo Donomurah yang tinggal di Gancahan, Godean. Entah apa sebabnya keduanya tidak sepaham. Ketidaksepahaman ini menimbulkan persoalan di kemudian hari hingga muncul semacam pantangan atau wewaler bahwa warga dari Dusun Tumut dan Gancahan tidak diperkenankan mengikat tali perkawinan. Jika hal ini dilanggar, maka salah satu atau kedua-duanya (baik pengantin maupun saudara-saudaranya) akan menemui kesialan di dalam hidupnya.

repost dari sumber  ( http://www.tembi.net/id/news/museum/kyai-tumut-dan-terjadinya-dusun-tumut,-moyudan,-sleman-1329.html )

13 Juni 2012

Buk MINONG Gancahan


       Buk minong saat ini ( foto kiriman Agus, Juragan dr Semarang )

          Buk adalah pembatas yang dibuat sebagai pengaman  sebuah jembatan, biasanya dibuat seperti persegi panjang setinggi 1 sampai 1,5 meter sedangkan panjangnya menyesuaikan dengan lebar sungai yang berada dibawahnya. Tidak ada yang istimewa dengan buk yang satu ini, melihat bentuk fisiknya, bangunan ini sudah ada sejak jaman dulu.  Dinding Buk yang ditumbuhi lumut berwarna kehitaman karena tidak ada yang membersihkan, disana-sini terdapat coretan tangan jahil dengan menggunakan cat pilox. Entah apa yang ada di otak para tangan jahil ini... apakah tidak ada tempat lagi untuk menyalurkan bakat seni atau memang gawan bayi yang gemar melakukan aksi vandalisme.  Disamping buk ditumbuhi rumput liar yang menambah  tidak sedap dipandang mata.

          Dibawah jembatan terdapat sungai kecil yang airnya selalu mengalir. Oleh warga masyarakat sekitar, aliran sungai  ini dimanfaatkan sebagai sarana irigasi sawah. Walaupun airnya keruh dan berwarna coklat namun didalamnya terdapat cukup banyak ikan, mulai dari ikan kecil jenis wader, cethul, tawes, benceng, sepat, lele bahkan sampai ikan agak besar seperti kutuk dan sidatpun ada.  

         Buk Minong hanyalah sebuah pembatas jembatan kecil disebuah jalan yang menghubungkan desa Sidomulyo dengan desa Puluhan. Lokasinyapun berada di persawahan sebelah selatan desa Sembuh Kidul Sidomulyo Godean Sleman Yogyakarta. Seperti halnya dengan Buk lainnya, dibawahnya terdapat terowongan. Jika airnya surut, maka ujung terowongan akan terlihat dari ujung sebelah, namun bila airnya deras, maka ujungnya tidak kelihatan. 

          Waktu masih duduk di bangku SMP sekitar tahun 1988-1991 ( SMPN Argomulyo ) hampir tiap hari saya melewati buk Minong. Dengan menggunakan sepeda federal, saya memacu laju sepeda melintasi jalan itu agar tidak terlambat menuju ke sekolahan. Di pagi hari udara masih sejuk, acara gowes pagi tambah asyik ketika melintasi persawahan. Bau padi yang masih muda, bercampur dengan bau lumpur/lendut  terasa sangat khas di hidungku.  Sesekali aku menghindari kawanan domba serta lubang, karena saat itu jalanan belum diaspal seperti sekarang.  Begitu juga waktu pulang sekolah, saya memacu sepeda biar cepat sampai di rumah karena perut sudah lapar.

          Memang tidak ada yang istimewa dengan Buk Minong ini, yang menjadi sangat istimewa adalah, dimalam-malam tertentu terdengar suara orang sedang selawatan diiringi dari Buk Minong. Suara terdengar sayup-sayup dibawa angin, kadang terdengar jelas di telinga dan  kadang suara itu hilang. Karena mitos ini sudah beredar dan menjadi pembicaraan warga sehingga ketika suara-suara itu muncul maka orang langsung merinding dan menutup selimut rapat-rapat di sekujur badannya.

         Banyak warga yang sudah membuktikan sumber suara itu berasal dari mana. Ya... dari Buk Minong. Namun bila didekati, dalam radius tertentu, suara itu akan hilang, yang ada hanya kesunyian dan suara  katak serta gemericik air sungai yang berada di bawah buk Minong.  Tidak ada fakta yang kuat untuk membuktikan asal sumber suara itu, belum pernah ada tim investigasi khusus untuk menyelidikinya.  Kalau warga sekitar bilang, tempat itu mengandung unsur mistis dan banyak penghuninya. Kalau dicerna dengan akal sehat, mungkin saja hal itu bisa terjadi, mengingat Buk Minong berada ditengah persawahan, sumber suara itu  berasal dari tempat lain yang dibawa angin, kebetulan angin itu membentuk pusaran  dan berhenti di Buk Minong.

           Sekian lama meninggalkan desa Gancahan, saya sudah tidak pernah dengar kabar tentang suara-suara itu lagi. Mungkin sekarang sudah tidak ada yang mendengar lagi suara-suara aneh itu, atau bahkan orang sudah lupa kalau dulu sering terdengar suara-suara aneh dari situ, kalau bnahasa konyolnya penghuni buk Minong telah bermigrasi ke tempat lain yang lebih sepi.... hehehehe.... sehingga Buk Minong sudah tidak perlu diceritakan lagi oleh siapapun.

            Memang Buk Minong hanya sebuah bangunan biasa, sampai kapanpun Buk Minong akan tetap diam dan membisu… karena memang terbuat dari batu dan semen. Tanpa bermaksud apa-apa, saya sengaja mengangkat cerita Buk Minong ini, agar kita tetap menjaga dan menghargai alam lingkungan sekitar kita, meskipun hanya sebuah buk, tapi bangunan itu sudah berumur tua dan sangat bermanfaat bagi kita semua yang harus dijaga kelestariannya, kebersihannya. Bukan malah dicoret-coret dengan pilox dan rumputnya dibiarkan panjang.

12 Juni 2012

Lapangan Sawo Gancahan




Letaknya di sudut Barat Laut desa Gancahan V Sidomulyo Godean Sleman Yogyakarta. Tidak ada pohon sawo sebatangpun tumbuh di pinggir lapangan ini. Hanya sederet ruko di sisi utara dan barat, sebidang sawah di sisi selatan dan disisi timur terdapat bangunan Gereja GKJ Rewulu dan rumah kediaman Pak Carik. 

Sekuat tenaga aku layangkan pikiranku menembus batas masa kecilku…. Iya benar…. Dulu disekitar lapangan tersebut terdapat beberapa pohon sawo yang tumbuh, diantaranya di depan TK Bobkri Rewulu… awal berdirinya bertempat di bangunan tua depan rumah Pak Carik… dan dihalaman depan TK terdapat beberapa pohon sawo, yang cukup rindang sehingga para murid tidak kepanasan ketika bermain atau beraktivitas di sekitar sekolah TK tersebut.

Lalu sekolahan TK Bobkri sempat pindah di belakang SD Bobkri Rewulu Samping  barat GKJ, yg sekarang digunakan utk Pastori GKJ… disitu juga terdapat pohon sawo yang tak kalah rindangnya dengan lokasi TK sebelumnya. Dibelakangnya juga terdapat pohon Bambu Apus yang menjulang tinggi, menambah teduhnya tempat itu.

 Mengapa kenangan saya waktu TK kok cukup baik….. Ya… karena saya mengalami TK selama 3 tahun… hehehe…. Kok bisa sih ?? Masak Sih ?? itu pertanyaan yang pasti akan muncul oleh para pemirsa sekalian….. Ya Iya lah…  Kan guru TKnya adalah Bulek saya sendiri… Bulek Suwar…  karena Ayah dan Ibu saya bekerja praktis dirumah saya tidak ada yang momong…. Alhasil tiap pagi saya dititipkan di TK tersebut….  Ibu saya namanya Ibu Asih… guru kelas 1 SDN Semarangan 3, lokasinya berada di desa Sembuh Lor Sidomulyo Godean Sleman Yogyakarta.  Setiap pagi berangkat ke sekolahan dengan mengendarai sepeda Kumbang warna Hitam merk Gazele (CMIIW) dan memboncengkan saya untuk dititipkan di TKnya bulek…. Kok jadi Curhat sih ???

Yuuk kita kembali ke lapangan sawo……Entah kapan  dibuatnya… yang jelas kalau saya perhatikan di setiap Keluarahan pasti terdapat sebuah Lapangan untuk aktivitas warga sekitar, mulai dari kegiatan keagamaan, olah raga, kesenian, budaya, Sosial masyarakat bahkan sosial hewan karena tiap sore lapangan sawo dipenuhi sekawanan kerbau milik pak Bejo yang diangon oleh anak2nya (Tholek dan Gano).

Pacuan Kuda

 Dulu di lapangan Sawo pernah digunakan untuk lomba pacuan kuda, diikuti oleh pemilik kuda pacu dari berbagai daerah. Dan masyarakat cukup antusias, karena tiap hari lapangan selalu ramai dipenuhi oleh masyarakat yang ingin menonton pacuan kuda tersebut….. Beberapa ekor kuda menjadi idola masyarakat karena sering memenangkan setiap lomba … dan kuda yang saya favoritkan adalah Kuda Beryl dan Kuda Rita…. Namun sayang…. Setelah lomba pacuan selesai… lapangan jadi rusak… rumput yang tadinya bagus dan rapih… menjadi acak-acakan dan penuh dengan lubang bekas kaki kuda. Butuh beberapa waktu untuk mengembalikan kondisi lapangan menjadi seperti semula.

Kethoprak

Pernah juga dilangsungkan pertunjukan kesenian Kethoprak, Kala itu kesenian Kethoprak masih booming dan menjadi hiburan yang cukup favorit bagi warga masyarakat Jawa.  Kenapa ?? Karena pada waktu itu, belum ada drama, sinetron, apalagi telenovela. Meskipun judul dan ceritanya itu-itu saja, namun tetap saja warga masyarakat senang menonton pertunjukan ketoprak ini. Jalan ceritanyapun mudah bisa ditebak, tetapi selingan dagelan  dapat membuat penoton tertawa terbahak-bahak. Meskipun mengikuti pakem dan alur cerita yang sudah ada, namun Improvisasi para pemainnya  sangat hidup dan menjadi satu jiwa dengan tokoh yang diperankannya. Banyak para pemain yang akhirnya menjadi artis / idola para penonton… sehingga kemunculannya di panggung sangat ditunggu2… 

Nah karena animo masyarakat cukup bagus, maka pertunjukan yang satu ini memakan waktu yang cukup lama, . Diawali dengan mendirikan panggung untuk pentas, lalu pemasangan pagar terbuat dari Bilik / Gedheg yang terbuat dari anyaman bambu, pembuatan Loket di pintu masuk dan atap terbuat dari anyaman daun tebu yang sudah kering….. Simsalabim Jadilah sebuah  panggung pertunjukan  yang megah dikelilingi gedheg yang tinggi.  Didepannya dipajang Poster besar yang terbuat dari kain yang dilukis manual berisi gambar dan judul kethoprak yang akan ditayangkan. Masih inget betul bau cat yang digunakan untuk melukis…. Sangat nyengat dan tidak enak….. bahkan kami anak2 kecil menyebutnya dengan bau “ telek lencung “….. ga tahan berlama-lama dideket tukang lukis gambar poster…. Rasanya mau muntah….. hueek !!!.  Judul kethoprak yang pernah ditayangkan di lapangan sawo antara lain : Ario Penangsang, Kamandaka Lutung Kesarung, Mahesa Jenar, Joko Tingkir, Dewi Maya Mayit Hidup, Rara Jonggrang .. dll 
( Lapangan Sawo dr Sudut Barat Daya kiriman direktur Agus )


Sorot / Layar Tancap

                Nah ini dia hiburan yang selalu ditunggu-tunggu oleh warga gancahan “ Pertunjukan Layar Tancap “. Datangnya tidak pernah disangka-sangka…. Ujug-ujug, tau-tau sekonyong-konyong …datanglah mobil berbentuk botol minuman Anggur cap Orang Tua…   mobil yang sudah dimodifikasi menyerupai bentuk botol yang berukuran besar yang berisi peralatan untuk pertunjukan layar tancap… disusul dibelakangnya mobil box dengan gambar lukisan anggur cap orang tua berjenggot…  dari pintu keluarlah para kurcaci/cebol yang ikut meramaikan rombongan pertunjukan.  Bunyi sound system yang nyaring memperdengarkan alunan music dangdut seolah menjadi tanda genderang perang…. Halah…. Tanda bahwa nanti malam akan ada pertunjukan layar tancap…. Kami yang sedang asyik main bola, sontak berjingkrak-jingkrak menyambut kedatangan mereka… dan pastilah malam ini akan menjadi malam yang sangat mengasyikkan……     Sementara mereka bersiap-siap memasang  peralatan baik layar maupun outlet untuk berjualan,kami iseng-iseng bertanya kepada salah satu Kurcaci yang sedang duduk…. Mas judul filem’e opo ??  dengan penuh bersahabat sang kurcaci menjawab “ Ateng Raja Penyamun “ dik…  wakakaka…. Denger judulnya saja sudah membuat kami ketawa…. Pasalnya jaman itu film yang dibintangi oleh Ateng dan Iskak sangat populer…. Sepopuler acara Ria Jenaka yang ditayangkan tiap hari minggu di TVRI….

 Apapun acara dan kegiatan yang diadakan di lapangan sawo  sangat menghibur warga sekitar yang sangat haus akan hiburan. Dari kaum tua, muda sampai anak-anak tumplek blek jadi satu di Lapangan Sawo. Selain itu setiap gelaran acara di lapangan sawo mampu mendatangkan rejeki tersendiri bagi para pedagang mulai dari pedagang makanan maupun mainan. Seperti halnya Mbah Prawiro yang tak pernah absen berjualan di Lapangan Sawo…… meskipun hanya sekedar berjualan Kacang Godog dan Kacang Goreng, tapi Icon  Mbah “Prawiro Kacang “ sudah sangat melekat dalam dirinya…… 

Bila tidak ada acara dan kegiatan massal, biasanya tiap sore kami berkumpul disitu sekedar untuk berbincang atau bermain. Para remaja dan pemuda bermain bola, sedangkan anak-anak bermain layang-layang atau sekedar berkejar-kejaran. Terkadang numpang duduk diatas kerbau yang sedang merumput sambil memikmati pemandangan. Meskipun bau keringat kerbau cukup segar, namun acara naik kerbau memberikan sensasi tersendiri bagi anak-anak kecil. 

Kini lingkungan lapangan sawo sudah banyak berubah, dahulu disisi utara lapangan terdapat perengan rerumputan berbatasan langsung dengan sungai dan jalan raya. Disisi timur ada kali kecil berbatasan dengan jalan tanah dan blumbang,  di samping  blumbang juga terdapat pohon Munggur yang sangat tua dan ukurannya sangat besar,  bila di rangkul keliling batang pohonnya membutuhkan 5 orang tangan dewasa. 

Demikian sekelumit kisah Lapangan Sawo yang selalu dikenang oleh siapapun yang tinggal di sekitar desa Gancahan.  Meski sudah berumur ratusan tahun, namun Lapangan Sawo tak lelah memberikan tempat bagi siapa saja untuk beraktivitas, memberikan penghiburan, memberikan kelegaan dari rasa penat. Memberikan rumputnya untuk dimakan oleh kerbau, sapi dan kambing yang diangon oleh pemiliknya.  Lapangan Sawo yang penuh kenangan dan tak terlupakan.



( malam takbiran 18 Agustus 2012 di lapangan sawo foto diambil oleh Mr. Agus)

By. Ari wibowo