BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

17 Juni 2012

GKJ Karangjoso Gereja Tertua di Jawa



            Gereja Kristen Jawa (GKJ) Karangjoso yang terletak di Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo ini merupakan Gereja Kristen Jawa tertua di Pulau Jawa. Gereja ini dibangun oleh Kyai Sadrach pada saat Indonesia berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

        Bagaimana jemaat Kristen Indonesia perdana terbentuk itu pun mengalami perjalanan yang panjang. Pada saat itu, Kyai Sadrach tidak menganut agama Kristen. Dalam iman yang bercampur dengan keyakinan Kejawen, suatu saat beliau memperoleh mimpi yang tidak biasa. Mimpi itu diterjemahkan oleh seorang Kristen dalam sebuah kalimat kutipan Yohanes 11 : 25. Ayat itulah yang menjadi dasar Kyai Sadrach untuk meyakini bahwa selama ini Sang Juruselamat-lah yang sering menjumpainya melalui mimpi.

      Untuk itu, beliau berikrar untuk mengabarkan kabar gembira ini kepada masyarakat sekitar. Karena berbasis Kejawen, maka pendirian Gereja maupun metode penyampaian Injil juga berpenampilan Jawa. Dapat terlihat di atas, Gereja berbentuk menyerupai joglo dengan atap bertingkat tiga. Jika dilihat sepintas, bangunan tersebut mirip dengan masjid. Hanya saja Mustaka yang terletak di atap diganti dengan tanda Salib. Salibnya pun berbeda, tidak seperti yang biasa kita lihat di gereja-gereja yang berbentuk tanda †. Salibnya merupakan persilangan antara senjata Cakra (milik Prabu Kresna) dan panah Pasopati (milik Arjuna). Di mana masing-masing senjata itu memiliki makna yang identik dengan tanda Salib.


       Dalam mengabarkan berita suka cita, Kyai Sadrach bahkan menggunakan wayang dan tembang-tembang Jawa. Bahkan doa "Bapa Kami" pun disulap menjadi tembang Macapat berjudul "Pucung Pandonga Rama Kawula". Dengan cara akulturasi budaya ini, maka jemaat Kristiani berkembang dengan pesat. Akan tetapi, cara ini tidak disukai oleh Zending (hierarki Gereja Kristen Eropa - Belanda). Terjadi pertentangan antara Zending dengan Kyai Sadrach pada masa itu. Meskipun demikian, Kyai Sadrach tidak berputus asa. Beliau tetap meneruskan kabar suka cita ini dengan cara beliau. Jemaat yang semula kecil, terus bertambah dan hingga kini dikenal dengan "Gereja Kristen Jawa".

Museum




      Di belakang gereja, terdapat sebuah pendopo kecil yang menjadi teras rumah Kyai Sadrach pada masa lalu. Rumah tersebut kini difungsikan sebagai museum bukti sejarah napak tilas Kyai Sadrach di Purworejo. Di sana terdapat ruang tempat Kyai Sadrach berdialog, meja tempat Kyai Sadrach menulis dan menyiapkan khotbah, hingga tempat tidur Kyai. Peninggalan-peninggalan beliau pun tersimpan dengan rapi di ruangan kecil bernuansa Jawa.

     Di sekitar gereja dan museum, terdapat rumah retreat dan tempat tinggal anak angkat Kyai Sadrach beserta keturunan-keturunannya. Mereka lah yang menjadi "juru kunci" gereja Kyai Sadrach yang kini disebut dengan GKJ Karangjoso.

Penutup

     Pernah terdengar anggapan bahwa agama Kristen masuk melalui penjajahan. Itulah mengapa yang menjadi salah satu latar belakang perpecahan agama yang terjadi di Indonesia. Padahal, menurut yang saya dapat dari tempat ini: memang benar bahwa agama Kristen (baik Katolik maupun Protestan) masuk bersamaan dengan penjajahan. Tidak seperti agama Islam yang masuk melalui dakwah atau dengan cara yang lebih baik ketimbang penjajahan, maupun agama Hindu dan Buddha yang berkembang pada jaman perdagangan. Akan tetapi dapat terlihat bahwa masuknya agama Kristen ada yang melalui akulturasi budaya.

       Sebagai contoh, pastor Van Lith yang menyebarkan agama Katolik bahkan tidak melakukan cara-cara kolonial atau pun pemaksaan. Akan tetapi, dengan melakukan akulturasi budaya Jawa, lahirlah masyarakat Katolik ala Jawa di daerah Muntilan. Di sana kemudian didirikan Gua Maria Sendangsono. Tidak jauh berbeda dengan Kyai Sadrach yang menyebarkan agama Protestan melalui akulturasi dengan budaya Jawa. Semangat yang mereka kobarkan bukanlah niat untuk memaksakan kehendak atau pun ideologi. Mereka hanya bersaksi mengenai kebenaran yang mereka terima.

Sejarah Sendang Klangkapan

           

         Asal-usul Sendang Klangkapan, ada dua versi terkait legenda Dusun Klangkapan. Versi yang pertama datang dari cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, yaitu bahwa sendang ini muncul ketika Sunan Kalijaga sedang mampir di sekitar sini dan mencari air untuk wudhu. Karena tidak menemukan sumber air, maka beliau nglokop (mengelupasi) lapisan tanah. Dari tanah tersebut, muncul air yang cukup deras dan dapat dipergunakan untuk wudhu. Dari istilah nglokop tersebut, akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi klangkapan.

          Sedangkan cerita dari versi kedua cukup panjang. Dalam situs pariwisata Jogja, Drs. H. Pardi Suratno, M. Hum dalam bahasa Jawa menuliskan asal mula Dusun Klangkapan. Bermula dari seorang budiman bernama Ki Tunggulwana yang menjadi pelopor desa membuka lahan yang dulunya berupa hutan menjadi pemukiman dan persawahan. Tempat tersebut menjadi semakin ramai. Menurut wahyu yang diterima Ki Tunggulwana, tempat ini akan tetap subur dan penuh damai sejahtera asalkan seluruh warga saling tolong menolong dan mensyukuri anugerah yang diberikan oleh Tuhan.


          Dengan adanya rejeki yang berlimpah, beberapa warga mengusulkan untuk diadakan ritual bersih desa untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan. Rencana ini diterima baik oleh Ki Tunggulwana, sehingga acara bersih desa akan diselenggarakan pada hari Selasa Kliwon (Anggara Kasih) waktu itu. Ketika upacara tersebut dilangsungkan, muncullah dua orang -pria dan wanita- berbusana compang-camping dan sakit kulit. Mereka berdua meminta makan di tengah-tengah acara tersebut. Merasa terganggu dengan aroma kedua orang tersebut, Jagal Kasusra dan gengnya mengusir kedua orang itu. Namun kedua orang itu tidak mau pergi karena ingin meminta sedikit makanan. Semakin risih, Jagal Kasusra yang dipanas-panasi rekan-rekannya pun menghajar kedua orang itu hingga tewas. Tewasnya kedua orang itu menimbulkan keributan, dan akhirnya Ki Tunggulwana pun turun tangan.

         Ki Tunggulwana kecewa dengan sikap Jagal Kasusra yang tidak mengindahkan perkataannya, yaitu harus menjaga sikap dan saling tolong menolong, malah sebaliknya -membunuh dua orang yang tak bersalah. Ki Tunggulwana memerintahkan beberapa warga untuk menguburkan dua jenasah tersebut dan diadakan ritual agama. Tanpa rasa bersalah, Jagal Kasusra dan gengnya mengambil kedua jenasah tersebut dan dibuang di sungai. Melihat kejadian ini, Ki Tunggulwana mencari kedua jenasah yang dihanyutkan di sungai tersebut tetapi tidak ditemukan. Ki Tunggulwana dan warga desa pun menyesali kejadian ini.

         Beberapa minggu terasa biasa-biasa saja, namun tidak lama kemudian bencana pun datang. Semua hewan ternak lumpuh dan terkena penyakit kulit. Seluruh warga pun panik. Seseorang di antaranya yang bernama Ki Sura meminta petunjuk dari Ki Tunggulwana. Menurut Ki Tunggulwana, kejadian ini terkait dengan kematian dua orang tak bersalah ketika acara bersih desa yang lalu. Ki Tunggulwana menyarankan seluruh warga desa untuk memandikan seluruh hewan ternaknya di sebuah sungai di tepi desa. Akan tetapi, sungai tersebut telah mengering. Ki Tunggulwana pun menyebutkan bahwa peristiwa yang sama pernah terjadi di Desa Tempel.

          Di tengah kekacauan yang terjadi di desa, seorang bernama Ki Naya berkata bahwa ada orang yang sepertinya mampu mengatasi kekacauan ini, namanya Sunan Kalijaga. Namun Ki Tunggulwana meragukan hal ini, beliau pun pergi dan bertapa di suatu tempat berhari-hari tanpa diketahui oleh seluruh warga. Setelah beberapa hari, Ki Tunggulwana pun kembali. Warga yang tadinya kalang kabut menjadi senang kembali. Ki Tunggulwana menyampaikan beberapa penglihatannya kepada para warga. Yang pertama, mereka harus mengucapkan syukur kepada Tuhan melalui bersih desa yang harus diadakan setiap tahun. Yang kedua, mereka juga harus menjaga sikap serta tidak menyakiti orang lain. Yang ketiga, mereka harus beribadah kepada Gusti Allah. Dengan melakukan ketiga hal tersebut, niscaya Ngara-ara (nama wilayah tersebut waktu itu) dan Seyegan tidak akan terkena bencana serupa. Ehem, satu lagi, para warga entah laki-laki atau perempuan, entah tua atau muda diharapkan pipis di bawah pohon beringin yang ditunjuk oleh Ki Tunggulwana.


         Keesokan harinya, para warga yang mau pipis dikejutkan oleh munculnya dua sendang di bawah pohon beringin tersebut. Sendang besar yang terletak di utara selanjutnya disebut sendang lanang (laki-laki) dan sendang kecil yang terletak di selatan selanjutnya disebut sendang wadon (perempuan). Para warga yang heran akan kejadian tersebut melaporkan kepada Ki Tunggulwana. Ki Tunggulwana pun hanya menjawab bahwa hal ini sudah ada di dalam wahyu yang ia terima. Ki Naya pun meminta Ki Tunggulwana untuk memberi nama kedua sendang tersebut. Karena terletak di bawah pohon beringin besar yang sudahnglingkap (terkelupas) karena sudah terlalu tua, maka sendang tersebut diberi nama Sendang Klangkapan yang mengalami pergeseran ucapan dari kata nglingkap.

15 Juni 2012

Sejarah desa Tumut Moyudan Sleman

     Makam Kyai dan Nyai Tumut terletak di Dusun Tumut, Kalurahan Sumbersari, Kecamatan, Moyudan, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY. Makam ini kira-kira berada pada jarak 3 kilometer di sisi selatan Pasar Godean.

      Makam Kyai dan Nyai Tumut telah diberi cungkup cukup bagus. Cungkup terbuat dari bangunan tembok berbentuk huruf U. Pada sisi selatan cungkup dengan sengaja tidak diberi dinding tembok atau pintu. Jadi, bagian pada sisi selatan cungkup dibiarkan terbuka. Makam keduanya terletak pada sisi utara-timur dari kompleks makam di dusun tersebut. Keletakan makam berada pada sisi atas bagian barat dari irigasi yang melintas di Dusun Tumut.


       Ukuran cungkup makam sekitar 3 m x 3 m. Tinggi tembok cungkup sekitar 1,5 m. Nisan dari kedua tokoh tersebut diletakkan saling berdampingan. Nisan terbuat dari batu andesit dan berbentuk sama. Ukuran panjang batu nisan dari keduanya sekitar 1,6 m, lebar 60 Cm, dan tinggi hingga kepala jirat sekitar 70 Cm. Dinding bagian dalam dan lantai dari makam ini dilapisi keramik warna cokelat muda serta pelisir dinding bagian dalam berwarna cokelat tua.

KYAI TUMUT DAN TERJADINYA DUSUN TUMUT, MOYUDAN, SLEMAN


       Menurut sumber setempat Kyai dan Nyai Tumut adalah tokoh dari sebuah kerajaan. Hanya saja sumber setempat tidak bisa menjelaskan dari kerajaan manakah kedua tokoh ini. Sekalipun demikian, ada yang meyakini bahwa keduanya berasal dari Kerajaan Yogyakarta. Kecuali itu sumber setempat juga menyebutkan bahwa keduanya semula ingin menyeberang ke Sungai Progo untuk tinggal hingga meninggalnya di sisi barat Sungai Progo. Akan tetapi ketika mereka akan menyeberangi Sungai Progo kebetulan Sungai Progo sedang mengalami banjir besar. Usaha penyeberangan ini merka urungkan.

KYAI TUMUT DAN TERJADINYA DUSUN TUMUT, MOYUDAN, SLEMAN

       Akhirnya mereka tinggal di sebuah dusun yang kemudian dikenal sebagai Dusun Tumut ini. Penamaan dusun ini tidak lepas dari usaha dan kiprah mereka dalam membuka wilayah setempat yang semula merupakan hutan dan tanah yang tidak tergarap. Akhirnya mereka pun meninggal di dusun yang mereka buka dan kembangkan. Untuk mengenang jasa keduanya, maka dusun yang mereka buka itu dinamakan Dusun Tumut.


      Disebutkan pula masa hidup Kyai dan Nyai Tumut sezaman dengan Kyai Wirojombo Donomurah yang tinggal di Gancahan, Godean. Entah apa sebabnya keduanya tidak sepaham. Ketidaksepahaman ini menimbulkan persoalan di kemudian hari hingga muncul semacam pantangan atau wewaler bahwa warga dari Dusun Tumut dan Gancahan tidak diperkenankan mengikat tali perkawinan. Jika hal ini dilanggar, maka salah satu atau kedua-duanya (baik pengantin maupun saudara-saudaranya) akan menemui kesialan di dalam hidupnya.

repost dari sumber  ( http://www.tembi.net/id/news/museum/kyai-tumut-dan-terjadinya-dusun-tumut,-moyudan,-sleman-1329.html )

13 Juni 2012

Buk MINONG Gancahan


       Buk minong saat ini ( foto kiriman Agus, Juragan dr Semarang )

          Buk adalah pembatas yang dibuat sebagai pengaman  sebuah jembatan, biasanya dibuat seperti persegi panjang setinggi 1 sampai 1,5 meter sedangkan panjangnya menyesuaikan dengan lebar sungai yang berada dibawahnya. Tidak ada yang istimewa dengan buk yang satu ini, melihat bentuk fisiknya, bangunan ini sudah ada sejak jaman dulu.  Dinding Buk yang ditumbuhi lumut berwarna kehitaman karena tidak ada yang membersihkan, disana-sini terdapat coretan tangan jahil dengan menggunakan cat pilox. Entah apa yang ada di otak para tangan jahil ini... apakah tidak ada tempat lagi untuk menyalurkan bakat seni atau memang gawan bayi yang gemar melakukan aksi vandalisme.  Disamping buk ditumbuhi rumput liar yang menambah  tidak sedap dipandang mata.

          Dibawah jembatan terdapat sungai kecil yang airnya selalu mengalir. Oleh warga masyarakat sekitar, aliran sungai  ini dimanfaatkan sebagai sarana irigasi sawah. Walaupun airnya keruh dan berwarna coklat namun didalamnya terdapat cukup banyak ikan, mulai dari ikan kecil jenis wader, cethul, tawes, benceng, sepat, lele bahkan sampai ikan agak besar seperti kutuk dan sidatpun ada.  

         Buk Minong hanyalah sebuah pembatas jembatan kecil disebuah jalan yang menghubungkan desa Sidomulyo dengan desa Puluhan. Lokasinyapun berada di persawahan sebelah selatan desa Sembuh Kidul Sidomulyo Godean Sleman Yogyakarta. Seperti halnya dengan Buk lainnya, dibawahnya terdapat terowongan. Jika airnya surut, maka ujung terowongan akan terlihat dari ujung sebelah, namun bila airnya deras, maka ujungnya tidak kelihatan. 

          Waktu masih duduk di bangku SMP sekitar tahun 1988-1991 ( SMPN Argomulyo ) hampir tiap hari saya melewati buk Minong. Dengan menggunakan sepeda federal, saya memacu laju sepeda melintasi jalan itu agar tidak terlambat menuju ke sekolahan. Di pagi hari udara masih sejuk, acara gowes pagi tambah asyik ketika melintasi persawahan. Bau padi yang masih muda, bercampur dengan bau lumpur/lendut  terasa sangat khas di hidungku.  Sesekali aku menghindari kawanan domba serta lubang, karena saat itu jalanan belum diaspal seperti sekarang.  Begitu juga waktu pulang sekolah, saya memacu sepeda biar cepat sampai di rumah karena perut sudah lapar.

          Memang tidak ada yang istimewa dengan Buk Minong ini, yang menjadi sangat istimewa adalah, dimalam-malam tertentu terdengar suara orang sedang selawatan diiringi dari Buk Minong. Suara terdengar sayup-sayup dibawa angin, kadang terdengar jelas di telinga dan  kadang suara itu hilang. Karena mitos ini sudah beredar dan menjadi pembicaraan warga sehingga ketika suara-suara itu muncul maka orang langsung merinding dan menutup selimut rapat-rapat di sekujur badannya.

         Banyak warga yang sudah membuktikan sumber suara itu berasal dari mana. Ya... dari Buk Minong. Namun bila didekati, dalam radius tertentu, suara itu akan hilang, yang ada hanya kesunyian dan suara  katak serta gemericik air sungai yang berada di bawah buk Minong.  Tidak ada fakta yang kuat untuk membuktikan asal sumber suara itu, belum pernah ada tim investigasi khusus untuk menyelidikinya.  Kalau warga sekitar bilang, tempat itu mengandung unsur mistis dan banyak penghuninya. Kalau dicerna dengan akal sehat, mungkin saja hal itu bisa terjadi, mengingat Buk Minong berada ditengah persawahan, sumber suara itu  berasal dari tempat lain yang dibawa angin, kebetulan angin itu membentuk pusaran  dan berhenti di Buk Minong.

           Sekian lama meninggalkan desa Gancahan, saya sudah tidak pernah dengar kabar tentang suara-suara itu lagi. Mungkin sekarang sudah tidak ada yang mendengar lagi suara-suara aneh itu, atau bahkan orang sudah lupa kalau dulu sering terdengar suara-suara aneh dari situ, kalau bnahasa konyolnya penghuni buk Minong telah bermigrasi ke tempat lain yang lebih sepi.... hehehehe.... sehingga Buk Minong sudah tidak perlu diceritakan lagi oleh siapapun.

            Memang Buk Minong hanya sebuah bangunan biasa, sampai kapanpun Buk Minong akan tetap diam dan membisu… karena memang terbuat dari batu dan semen. Tanpa bermaksud apa-apa, saya sengaja mengangkat cerita Buk Minong ini, agar kita tetap menjaga dan menghargai alam lingkungan sekitar kita, meskipun hanya sebuah buk, tapi bangunan itu sudah berumur tua dan sangat bermanfaat bagi kita semua yang harus dijaga kelestariannya, kebersihannya. Bukan malah dicoret-coret dengan pilox dan rumputnya dibiarkan panjang.

12 Juni 2012

Lapangan Sawo Gancahan




Letaknya di sudut Barat Laut desa Gancahan V Sidomulyo Godean Sleman Yogyakarta. Tidak ada pohon sawo sebatangpun tumbuh di pinggir lapangan ini. Hanya sederet ruko di sisi utara dan barat, sebidang sawah di sisi selatan dan disisi timur terdapat bangunan Gereja GKJ Rewulu dan rumah kediaman Pak Carik. 

Sekuat tenaga aku layangkan pikiranku menembus batas masa kecilku…. Iya benar…. Dulu disekitar lapangan tersebut terdapat beberapa pohon sawo yang tumbuh, diantaranya di depan TK Bobkri Rewulu… awal berdirinya bertempat di bangunan tua depan rumah Pak Carik… dan dihalaman depan TK terdapat beberapa pohon sawo, yang cukup rindang sehingga para murid tidak kepanasan ketika bermain atau beraktivitas di sekitar sekolah TK tersebut.

Lalu sekolahan TK Bobkri sempat pindah di belakang SD Bobkri Rewulu Samping  barat GKJ, yg sekarang digunakan utk Pastori GKJ… disitu juga terdapat pohon sawo yang tak kalah rindangnya dengan lokasi TK sebelumnya. Dibelakangnya juga terdapat pohon Bambu Apus yang menjulang tinggi, menambah teduhnya tempat itu.

 Mengapa kenangan saya waktu TK kok cukup baik….. Ya… karena saya mengalami TK selama 3 tahun… hehehe…. Kok bisa sih ?? Masak Sih ?? itu pertanyaan yang pasti akan muncul oleh para pemirsa sekalian….. Ya Iya lah…  Kan guru TKnya adalah Bulek saya sendiri… Bulek Suwar…  karena Ayah dan Ibu saya bekerja praktis dirumah saya tidak ada yang momong…. Alhasil tiap pagi saya dititipkan di TK tersebut….  Ibu saya namanya Ibu Asih… guru kelas 1 SDN Semarangan 3, lokasinya berada di desa Sembuh Lor Sidomulyo Godean Sleman Yogyakarta.  Setiap pagi berangkat ke sekolahan dengan mengendarai sepeda Kumbang warna Hitam merk Gazele (CMIIW) dan memboncengkan saya untuk dititipkan di TKnya bulek…. Kok jadi Curhat sih ???

Yuuk kita kembali ke lapangan sawo……Entah kapan  dibuatnya… yang jelas kalau saya perhatikan di setiap Keluarahan pasti terdapat sebuah Lapangan untuk aktivitas warga sekitar, mulai dari kegiatan keagamaan, olah raga, kesenian, budaya, Sosial masyarakat bahkan sosial hewan karena tiap sore lapangan sawo dipenuhi sekawanan kerbau milik pak Bejo yang diangon oleh anak2nya (Tholek dan Gano).

Pacuan Kuda

 Dulu di lapangan Sawo pernah digunakan untuk lomba pacuan kuda, diikuti oleh pemilik kuda pacu dari berbagai daerah. Dan masyarakat cukup antusias, karena tiap hari lapangan selalu ramai dipenuhi oleh masyarakat yang ingin menonton pacuan kuda tersebut….. Beberapa ekor kuda menjadi idola masyarakat karena sering memenangkan setiap lomba … dan kuda yang saya favoritkan adalah Kuda Beryl dan Kuda Rita…. Namun sayang…. Setelah lomba pacuan selesai… lapangan jadi rusak… rumput yang tadinya bagus dan rapih… menjadi acak-acakan dan penuh dengan lubang bekas kaki kuda. Butuh beberapa waktu untuk mengembalikan kondisi lapangan menjadi seperti semula.

Kethoprak

Pernah juga dilangsungkan pertunjukan kesenian Kethoprak, Kala itu kesenian Kethoprak masih booming dan menjadi hiburan yang cukup favorit bagi warga masyarakat Jawa.  Kenapa ?? Karena pada waktu itu, belum ada drama, sinetron, apalagi telenovela. Meskipun judul dan ceritanya itu-itu saja, namun tetap saja warga masyarakat senang menonton pertunjukan ketoprak ini. Jalan ceritanyapun mudah bisa ditebak, tetapi selingan dagelan  dapat membuat penoton tertawa terbahak-bahak. Meskipun mengikuti pakem dan alur cerita yang sudah ada, namun Improvisasi para pemainnya  sangat hidup dan menjadi satu jiwa dengan tokoh yang diperankannya. Banyak para pemain yang akhirnya menjadi artis / idola para penonton… sehingga kemunculannya di panggung sangat ditunggu2… 

Nah karena animo masyarakat cukup bagus, maka pertunjukan yang satu ini memakan waktu yang cukup lama, . Diawali dengan mendirikan panggung untuk pentas, lalu pemasangan pagar terbuat dari Bilik / Gedheg yang terbuat dari anyaman bambu, pembuatan Loket di pintu masuk dan atap terbuat dari anyaman daun tebu yang sudah kering….. Simsalabim Jadilah sebuah  panggung pertunjukan  yang megah dikelilingi gedheg yang tinggi.  Didepannya dipajang Poster besar yang terbuat dari kain yang dilukis manual berisi gambar dan judul kethoprak yang akan ditayangkan. Masih inget betul bau cat yang digunakan untuk melukis…. Sangat nyengat dan tidak enak….. bahkan kami anak2 kecil menyebutnya dengan bau “ telek lencung “….. ga tahan berlama-lama dideket tukang lukis gambar poster…. Rasanya mau muntah….. hueek !!!.  Judul kethoprak yang pernah ditayangkan di lapangan sawo antara lain : Ario Penangsang, Kamandaka Lutung Kesarung, Mahesa Jenar, Joko Tingkir, Dewi Maya Mayit Hidup, Rara Jonggrang .. dll 
( Lapangan Sawo dr Sudut Barat Daya kiriman direktur Agus )


Sorot / Layar Tancap

                Nah ini dia hiburan yang selalu ditunggu-tunggu oleh warga gancahan “ Pertunjukan Layar Tancap “. Datangnya tidak pernah disangka-sangka…. Ujug-ujug, tau-tau sekonyong-konyong …datanglah mobil berbentuk botol minuman Anggur cap Orang Tua…   mobil yang sudah dimodifikasi menyerupai bentuk botol yang berukuran besar yang berisi peralatan untuk pertunjukan layar tancap… disusul dibelakangnya mobil box dengan gambar lukisan anggur cap orang tua berjenggot…  dari pintu keluarlah para kurcaci/cebol yang ikut meramaikan rombongan pertunjukan.  Bunyi sound system yang nyaring memperdengarkan alunan music dangdut seolah menjadi tanda genderang perang…. Halah…. Tanda bahwa nanti malam akan ada pertunjukan layar tancap…. Kami yang sedang asyik main bola, sontak berjingkrak-jingkrak menyambut kedatangan mereka… dan pastilah malam ini akan menjadi malam yang sangat mengasyikkan……     Sementara mereka bersiap-siap memasang  peralatan baik layar maupun outlet untuk berjualan,kami iseng-iseng bertanya kepada salah satu Kurcaci yang sedang duduk…. Mas judul filem’e opo ??  dengan penuh bersahabat sang kurcaci menjawab “ Ateng Raja Penyamun “ dik…  wakakaka…. Denger judulnya saja sudah membuat kami ketawa…. Pasalnya jaman itu film yang dibintangi oleh Ateng dan Iskak sangat populer…. Sepopuler acara Ria Jenaka yang ditayangkan tiap hari minggu di TVRI….

 Apapun acara dan kegiatan yang diadakan di lapangan sawo  sangat menghibur warga sekitar yang sangat haus akan hiburan. Dari kaum tua, muda sampai anak-anak tumplek blek jadi satu di Lapangan Sawo. Selain itu setiap gelaran acara di lapangan sawo mampu mendatangkan rejeki tersendiri bagi para pedagang mulai dari pedagang makanan maupun mainan. Seperti halnya Mbah Prawiro yang tak pernah absen berjualan di Lapangan Sawo…… meskipun hanya sekedar berjualan Kacang Godog dan Kacang Goreng, tapi Icon  Mbah “Prawiro Kacang “ sudah sangat melekat dalam dirinya…… 

Bila tidak ada acara dan kegiatan massal, biasanya tiap sore kami berkumpul disitu sekedar untuk berbincang atau bermain. Para remaja dan pemuda bermain bola, sedangkan anak-anak bermain layang-layang atau sekedar berkejar-kejaran. Terkadang numpang duduk diatas kerbau yang sedang merumput sambil memikmati pemandangan. Meskipun bau keringat kerbau cukup segar, namun acara naik kerbau memberikan sensasi tersendiri bagi anak-anak kecil. 

Kini lingkungan lapangan sawo sudah banyak berubah, dahulu disisi utara lapangan terdapat perengan rerumputan berbatasan langsung dengan sungai dan jalan raya. Disisi timur ada kali kecil berbatasan dengan jalan tanah dan blumbang,  di samping  blumbang juga terdapat pohon Munggur yang sangat tua dan ukurannya sangat besar,  bila di rangkul keliling batang pohonnya membutuhkan 5 orang tangan dewasa. 

Demikian sekelumit kisah Lapangan Sawo yang selalu dikenang oleh siapapun yang tinggal di sekitar desa Gancahan.  Meski sudah berumur ratusan tahun, namun Lapangan Sawo tak lelah memberikan tempat bagi siapa saja untuk beraktivitas, memberikan penghiburan, memberikan kelegaan dari rasa penat. Memberikan rumputnya untuk dimakan oleh kerbau, sapi dan kambing yang diangon oleh pemiliknya.  Lapangan Sawo yang penuh kenangan dan tak terlupakan.



( malam takbiran 18 Agustus 2012 di lapangan sawo foto diambil oleh Mr. Agus)

By. Ari wibowo