15 Desember 2009
Diposting oleh arinugraha di 23.31 0 komentar
...... cari kerja serabutan.... wartawan independen...... tp Kantornya tutup.... akhirnya nganggur lagi......
Diposting oleh arinugraha di 23.22 2 komentar
20 November 2009
31 Juli 2009
30 Juni 2009
24 Juni 2009
22 Juni 2009
Kecamatan Godean
Godean adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kecamatan Godean berada di sekitar 10 km sebelah Barat daya dari Ibukota Kabupaten Sleman. Lokasi ibu kota kecamatan Godean di Jl. Godean Km.10, Sleman berada di 7.76774‘ LS dan 110.29336‘ BT. Kecamatan Godean mempunyai luas wilayah 2.684 Ha. Bentangan wilayah di Kecamatan Godean berupa tanah yang datar dan sedikit berbukit. Sudah sejak lama Wilayah Godean merupakan pusat ekonomi bagi wilayah Sleman bagian barat. Pasar Godean merupakan salah satu Pasar yang cukup ramai, dan terkenal dengan jajanan peyek belut.
Secara sejarah administrasi pemerintahan, Kecamatan Godean telah mengalami berbagai macam perubahan. Berdasarkan Rijksblad no. 11 tahun 1916, Godean merupakan distrik dibawah wilayah Kabupaten Sleman yang terdiri dari 8 onderdistrik dan 55 kalurahan. Yang kemudian berubah dengan keluarnya Rijksblad no. 1/1927 yang membuat Godean dan semua wilayah Kabupaten Sleman masuk dalam wilayah Kabupaten Yogyakarta. Pada tahun 1940, kembali terjadi perubahan yang membuat Godean kembali masuk dalam wilayah Kabupaten Sleman. Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1942 dengan Jogjakarta Kooti, Godean kemudian menjadi wilayah Kabupaten Bantul dengan status Kawedanan. Pada tanggal 8 April 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua) yang menempatkan wilayah Godean sebagai bagian Kabupaten Sleman dengan status Kapanewon (Son). Meski demikian beberapa wilayah di Godean seperti Sedayu tetap masuk dalam wilayah Kabupaten Bantul.
Diposting oleh arinugraha di 09.30 1 komentar
Silsilah keturunan Mbah Karso Dikromo . . .
a. Rusmiyati (24 Pebruari 1950)
b. (Alm) Rusnaryo
c. Rusyadi (31 Maret 1952) & Suharni (09 April 1959)
1) Dini Damayanti (03 Mei 1982)
2) Danang Adi S (27 September 1985)
d. Rus Winarni (27 Juni 1957) & Radiman (10 Mei 1953)
1) Yeri Eko Munajat (09 April 1977)
2) Miming Kuncoro (05 September 1981)
3) Windu Pramudito (9 Nopember 1984)
e. Rus Winarno (25 Juni 1959) & Warsuti ..
1) Andreas Kuncoro (03 Maret 1988)
2) Winda DwiAnggraini(31 Maret 1995)
f. Rus Winardi (10 Pebruari 1961) & Anastasia Ngadirah
1) Layung indra prasetya
2) Ardi
g. Rus Cahyanto (29 Desember 1962) & Muncaryati
1) Evi mareta
2) Hans Siragajosef
h. Rus SuListiono (10 Mei 1965) & Yeni natalia
1) Betsaida
2) Luky
i. Rus Sulistyaningsih (31 Juli 1967) & Sri Joko Yuono (05 Mei 1968)
1) Yuan Maha Putra (24 Pebruari 1998)
2) Angkoso Jati kusumo (07 Oktober 1999)
j. Rus Endarti (21 September 1969) & Tukijo (23 Maret 1968)
1) Rosi Pabliuka (06 Januari 1995)
2) Kurnia Tejaningrum (22 Juni 1996)
3) Pinastika Tejasari (03 September 2004)
k. Rus Endarto (10 Agustus 1975) & Serly
1) Ivan
2. (Alm ) Bpk. Sudiyono & Ny. Mursiti
a. Muryani & Santoso
1) Vasthi Ardiyani Retnaayu 75
2) Bernadian Satyandaru (10 September 1981)
3) Setyo Budiyanto (05 April 1986)
b. Murdayati & Slamet Sugeng
1) Wahyu Cahya Kusuma
2) Wisnu Chandra Kusuma
c. Subandoko & Tri Atmanti Rahayu
1) Yudha Timur Asnoro Ndoko (21 September 1984)
2) Yuretu Tiara Asmoro Ndoko (15 April 1989)
3) Yureksa Tri Asmoro Ndoko (28 Oktober 1993)
d. Murwanti & Subandiyo
1) Aditya Bawa (12 Juni 1991)
2) WindiAnindita Dewanti (03 Juni 1995)
3. Ibu Wagiyem & Bapak Marto Wiyono
a. Sumardi & Untari
1) Puri & Yanto
2) Sally
3) Veronika
4) Damar & David
a) vino
b. Supartini & Wagiman
1) Ebtaningtyas & Jatmiko
a) Vinensia Anaya Sesaristi
b) Bertha Aryalista Sesaristi
2) Dwi Pratiwi & Heru
a) Yesia Ramadhan
c. Sriyadi & Sukarni
1) Agung feriyadi
2) Daniel Johan kristanto
d. Sugantini & Purwanto (alm)
1) Untung Bandoko
2) Ari Gunawan
e. Sunardi & Dayanti
1) Ari Krustanto
2) Elia Anggraini
f. Gunadi & Rakhap Sulastri
1) Mutiara Nadia Radisa
2) Yeheskiel Feba Radisaputra
h. Supriyanto (Atin) & Hartiti Manulang
1) Andreas Brian Sukoco
4. (Alm) Bpk. Radiyo Dibyo Sutrisno (25 Des 1932) & Ibu. Kasilah 37
a. (Alm) Purwanto & Sumirah
1) Iwan Kris
2) Anreas
3) Atri
4) Ayub
b. (Alm) Dwi Darwanto & Aning Pris Susilowati
1) Pranita Ratnaningrum (17 Mei 1985 )
2) Ratna
c. Triyanto (22 April 1960) & Haryanah (16 Des 1962)
1) Yusak Martin Sutrisno (25 Mei 1984)
2) Yustina Wahyuningsih (16 Feb 1991)
d. Rini Sukesi (April 1962) & Haryanto
1) Ndaru
2) Nana
3) Bimo
4) Amanda
e. Rini Sulistyani (Oktober 1964) & Lilik
1) Aprilia (12 April)
2) Risang (21Juli)
f. Rini Prasetyaningsih (02 Maret 1967) & Sapto
1) Mersia Siahaya (20 Agustus 2002)
g. Rini Astuti Budi Pamungkas (10 Juni 1969) & Widodo
1) Aldi widiyanto (16 Des 1996)
2) Farentio Rangga Widiyanto (17 Sept 2004)
h. Joko Hadi Pangestu (30 Sept 1971 & Endang (29 Nop 1975)
1) Paulus Raditya Pangestu (18 April 1999)
2) Kesia (17 Sept 2001)
5. Bpk. Yahmin (31 Des 1941) & Ibu. Sihmiyati (02 Juli 1951)
a. Minda Yuliajati (31 Juli 1973) & Topan
1) Yosea Nino Sesarega Harimurti (2 Nop 2000)
b. Susilo Dwi Aminarno (1 Oktober 1975) & Rini Puspita Ndari
1) Yeheskiel Aditya Arinarno
2) Tesalonika Dara Arini
c. Kristian Heru mintarjo (25 Nop 1982)
6. (Alm) Ibu Asih Chrismina (08 Agustus 1943) & Bapak Antonius Rimin 37
a. Aris Gunawan (10 Des 1964 ) & Ana Yuliani ( Putra pak Rimin dari ibu
Sarining )
1) Tiara
2) Bonaventura Bayu Wirakencana
3) Angelika Rainha Shaquilathea
b. Nugraheni (17 Nop 1967) & Pendowo Prasetyo Utomo 1962
1) Devina Daratyama Putri (4 Sept 1995)
2) Kesia Kenwangi (8 Oktober 1999)
c. Chandra Mulatsih (16 Agustus 1970) & Sarjono (22 April 1968)
1) Lalita Anggie Ardana Reswari (10 Agustus 2002)
d. Prasetyo Novriyanto (28 Nop 1973) & Christina Puji Hartani (25 Desember 1976)
1) Nindya Larasaty Prasetya (20 Des 1997)
2) Laga Wiratama Prasetya (11 Peb 2006)
e. Wibawa Ari Nugraha (17 Maret 1976) & Retno Dwi Lestari (23 Maret 1980)
1) Stefanie Roselia LN (25 Sept 2000) ( Putri dari pernikahan pertama )
2) Arkaluna Laksmitha Rinola (14 Januari 2008)
7. Ibu. Sawiyem (th. 44 ) & Bpk. Djauji Sujito (10 Juni 1939)
a. Eni Wijandari (19 Nop 1963 ) & Rasmoko (16 Juni 1963)
1) Adistya Maretna Dwiyanto (16 Maret 1988)
2) Wahyu Endra Brahmantya (23 Januari 1991)
b. Etna Wijanarti (7 Januari 1967 & Sudarso (12 Des 1963)
1) Zara Wijanti (14 Juni 1990)
2) Michael Sakrasta (24 Oktober 2005)
c. Tri Wijayanto (21 Des 1970)
1) Gabriel (4 juni 1999)
d. Sasongko Nugroho (28 Juli 1981)
8. Ibu Sutarmi 49 & (Alm) Bpk. Sutaryanto 40
a. Satriyono ( Mei 1968) & Theresia Indra Dewi (06 Mei 1972)
1) Citra Hicari (25 Mei 2000)
2) Satria Dimas Mada Taripura
b. Kusuma Indrastuti (4 Sept 1972) & Veri Dananto 72
1) Oktavia Verda Kusuma (15 Okt 1999)
2) Odisey Firam Kusuma (13 Januari 2008)
c. Kusuma Widianingsih 75 & Suharsih 66
1) Angga Ananda Prasetya 05
d. Prayogo Basuki 76 & Endang Suryani 77
1) Felisia Ambaryani 2004
9. Ibu. Suwarjirah (12 Mei 1951) & Bpk. Pilipus Sampurno (17 Sept 1948)
a. Ari Suminarsih Rahayu (21 Feb 1972) & Sugihartono
1) Okta Haryudita Putri (5 Oktober 1999)
b. Samuel Agus Suminarto (2 Mei 1974) & Eni Suwarni 74
1) Diah Anggraini 1 Juni 1997
2) Diva Respati 2004
c. Imanuel Samudra Nusantara 24 Nop 1994
Demikianlah, keturunan mbah Karso Dikromo yang tercatat per bulan Juni 2009, mohon koreksi apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan, saya menampung artikel apa saja untuk diterbitkan disini, karena generasi yang akan datang, entah kapan ?? Akan sangat bangga dan bahagia mengetahui sejarah para leluhurnya , Sayapun bangga memiliki keluarga besar seperti sekarang ini, . . Karena artikelnya masih sedikit, maka sementara saya terbitkan di Blog saya. Dan kalau diijinkan, saya akan membuat Blog khusus trah Karso Dikromo yang artikelnya berisi cerita dan kegiatan apa saja tentang keluarga masing2 . . . . Dan tujuan blog ini sendiri adalah sebagai sarana komunikasi dan temu kangen para keturunan Mbah Karso Dikromo yang tersebar di seluruh Indonesia, bisa juga sebagai wadah nostalgia apabila tidak sempat datang di acara kumpul Trah yang diadakan setiap bulannya .
Diposting oleh arinugraha di 07.17 4 komentar
Pak Rimin Episode-2
Diposting oleh arinugraha di 07.14 1 komentar
Pak Rimin Episode-1
72 tahun yang lalu tepatnya di tahun 1937, di kawasan pegunungan wonogiri di sebuah desa terpencil dan terisolir yang bernama desa Taunan Kel. Sambirejo Kec. Jatisrono Kabupaten Wonogiri Prop. Jawa Tengah, terlahir seorang anak laki-laki dari pasangan Bapak Karso Niti alias Dasiman & Ibu Surip. Jabang bayi kecil yang mungil terlahir di sebuah amben bambu beralaskan tikar, ditangan seorang dukun beranak dari desa setempat. Bayi itu lahir normal dan sempurna tanpa ada cacat cela, lalu oleh Ibu Surip bayi itu diberi nama Rimin. Rimin dilahirkan pada saat ada peristiwa besar yang sedang terjadi di negeri Belanda. Saat itu ada acara pernikahan Putri Ratu Belanda yang bernama Ratu Yuliana dengan Pangeran Philip……. Dimana pernikahan itu dirayakan secara besar-besaran, di Belanda, namun gaungnya sampai ke seluruh pelosok tanah air jajahan Belanda. Karena mereka mewajibkan warga untuk memasang umbul-umbul di seluruh desa. Saat itu Pak Karso Niti tidak tahu tanggal dan bulan lahir anak2nya karena mereka berpatokan pada penanggalan Jawa. Bahkan baru akhir-akhir ini Pak Rimin tahu tanggal lahir yang sebenarnya. Setelah susah payah Browsing di Internet, diketahui beberapa artikel tentang peristiwa besar itu, dimana Ratu Yuliana melangsungkan pernikahan dengan Pangeran Philip, dan tanggal keramat itu jatuh pada 7 Januari 1937.
Pak Karso Niti yang mempunyai nama kecil Dasiman, bergegas berangkat ke Sendang Bolang untuk mencuci ari-ari sang jabang bayi, ari-ari itu ia cuci sampai bersih, lalu ia kembali segera kembali ke rumah. Di tengah jalan, Pak Karso Niti sempat mampir ke warung untuk membeli kuali, bunga dan ubo rampe untuk persyaratan mengubur ari-ari.Sementara beberapa orang kerabat, tanpa disuruh, berinisiatif mulai membersihkan rumah, dan halaman.
Walau amat sangat sederhana, acara selamatan dipersiapkan dengan biak, para tetangga, kerabat yang dari sore sudah mulai berkumpul, seperti tak sabar menunggu acara untuk segera dimulai, namun sang tokoh sesepuh belum juga datang. Suasana begitu akrab, baik laki-laki maupun perempuan mereka mengisap rokok lintingan sambil berbincang-bincang. Nah Itu dia pak Kyai datang . . . . teriak salah seorang kerabat. Pak Karso Niti segera berdiri dan bergegas berlari menuju ke ujung gang untuk menjemput Pria Tua Jenggotan berpakaian serba hitam untuk dipapah menuju ke dalam rumah. Maklum Mbah Kromo sudah lanjut usia, jalannya saja sudah susah, sehingga harus dibantu dengan sebuah tongkat. Namun beliau masih eksis untuk melayani warga kampung itu untuk memimpin memanjatkan Doa kepada Sang Pencipta. Bau dupa dan kemenyang semerbak melingkupi perhelatan sederhana itu hingga pada usainya.
Waktu terus berjalan dan hari terus berganti, Rimin semakin tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat dan kuat. Saat itu kehidupan Pak Karso Niti sangat sederhana, sehari-hari mereka hanya makan Thiwul dan Gaplek. Padi yang mereka tanam selama berbulan-bulan tidak dapat mereka nikmati, karena saat itu masih dalam penjajahan Belanda. Sehingga hasil bumi berupa Beras disetorkan kepada para Kompeni. Sungguh Ironi hasil bumi yang sangat berlimpah tidak dapat mereka nikmati, hanya Sepe ( baca Singkong ) yang mereka makan sehari-hari. Bisa dibayangkan kesengsaraan kehidupan insan manusia pada saat itu. Penjajahan itu sangat menyengsarakan kehidupan seluruh bumi pertiwi.
Dari kecil Rimin sudah diajar hidup sederhana dan membantu orang tua. Rimin belajar mencangkul dari kakak-kakanya, bahkan Kak. Ridi mengajari Rimin belajar menenun dengan bahan dasar serat daun nanas yang dikeringkan. Jari jemari Rimin yang lincah cepat sekali belajar mengendalikan alat tenun yang begitu sederhana. Oleh ibunda tercinta, kain hasil tenunan tersebut disulam menjadi baju dan celana untuk dipakai sehari-hari. Dari hasil mencangkul dan memenun ini Rimin mulai menghasilkan uang walaupun beberapa sen yang ia berikan kepada ibunda tercinta. Hal ini ia lalukan setiap hari tanpa mengenal lelah dan putus asa ia rela bekerja untuk membantu orang tua tercinta. Begitulah gambaran sebagian besar keluarga di desa itu, sehingga banyak anak-anak di kampung itu yang tidak mengenal bangku sekolah. Salah satu diantaranya adalah Rimin . . . hinggá umur 12 tahun dia tidak mengenal bangku sekolahan. Padahal beberapa anak seumuran dia harusnya sudah mengenal bangku sekolahan. Tiap hari ia memendam keinginannya itu dalam lubuk hatinya.
Kasno teman main Rimin setiap pagi berangkat sekolah melewati sawah yang dikerjakan oleh Rimin, ia sering ngeledekin Rimin yang sedang asyik mencangkul “ Min koe arep dadi opo, kok gaweanmu mung macul wae, mbok sekolah ben pinter koyo aku “. Sedih, pedih dan pilu hati Rimin mendengar hal itu, sambil mencangkul ia merenung dan berdoa “ Tuhan saya ingin sekolah seperti teman-temanku”. Hingga suatu saat ia memberanikan diri bertanya kepada Bapaknya “ Pak . . . Rimin pingin sekolah kayak si Kasno”. Mendengar keluh kesah anaknya Pak Karso mulai berfikir . . . . namun saat itu Pak Karso hanya diam dan tidak memberikan jawaban apa-apa.
Sore itu Rimin begitu letih, sepulang dari mencangkul. Ia bergegas ke dapur untuk mengambil air minum, di meja telah tersedia thiwul yang disediakan oleh Ibu, tanpa basa basi lagi dia langsung menyantap thiwul itu dengan lahapnya, nyam2 . . dari kejauhan Pak. Karso memperhatikan anaknya yang lagi asyik menyantap Thiwul, lalu ia menghampiri Rimin dan berkata . . . Le . . . besok kamu ikut bapak, ndaftar sekolah ya . . . . . . mendengar perkataan Bapak, Rimin langsung terdiam seperti patung . . . entah apa yang dipikirkannya . . . . Rimin . . . . suara Bapak mengagetkannya hingga Thiwul yang dipegangnya terjatuh ke lantai tanah . . . . Matanya berkaca-kaca, mulutnya bergetar seolah mau bicara sesuatu. . . . Perasaannya bingung, senang, sedih becampur aduk jadi satu . . . akhirnya Rimin terduduk di tanah dan sungkem kepada Bapak . . . Matur Sembah Nuwun Njih Pak !!!!!
Malam itu serasa berjalan begitu lambat, Rimin tidak bisa tidur, tak sabar rasanya menunggu datangnya pagi. Ia berusaha keras memejamkan matanya supaya bisa tidur, bantal sudah puluhan kali dibolak balik agar bisa tidur . . . . namun usahanya sia-sia . . . . pikirannya terlalu jauh melayang kemana-mana. Sesekali tangannya menepuk Jingklong ( baca Nyamuk ) yang sesekali menghinggapi tubuh Rimin. Akhirnya kira-kira pukul 02.00 dia tertidur pulas.
Le . . . bangun . . . ayo kita siap-siap ke sekolahan . . . . Tanpa berpikir panjang Rimin segera bangun dan menuju ke mBelik untuk mandi. Ia bersihkan seluruh badan dengan menggunakan sabut kelapa, sangat dimaklumi karena waktu itu belum beredar sabun mandi. Segera ia kenakan pakaian terbaiknya yang terbuat dari kain gandum hasil jahitan ibundanya tercinta, sedangkan celana yang dikenakannya adalah hasil karya dia sendiri yang berasal dari tenunan serat daun nanas. Setelah siap, Bapak dan Rimin segera berangkat menuju ke Sekolahan. Sekolahan yang dituju adalah SD Krandegan yang jaraknya sekitar 5 km, mereka berjalan tanpa alas kaki menyusuri jalan setapak, pematang, serta lereng perbukitan.
Sampai di sekolahan, bapak langsung menemui salah seorang pegawai yang kebetulan sedang duduk di bawah pohon sambil merokok. Nuwun sewu pak, kula badhe tanglet, ten mriki menopo taksih nampi murid sekolah ?? dan orang itu menjawab, Leres pak, sakmenika sekolahan mriki taksih kekirangan murid. Monggo kula derekaken mlembet ten sekolahan . . . Akhirnya Bapak dan Rimin mengikuti orang tersebut dan ditemukan ke bagian penerimaan siswa. Proses penerimaan tidak sulit yang penting ada kemauan untuk belajar. Berhubung saat itu umur Rimin sudah 13 tahun, maka Rimin dianjurkan untuk langsung masuk di Kelas 2 SD. Betapa bahagianya hati Rimin saat itu, akhirnya hal yang selama ini dia impikan terwujud. Terima Kasih Tuhan akhirnya aku bisa sekolah.
Siang itu kira-kira pertengahan tahun 1950, Rimin langsung disuruh mengikuti pelajaran, karena dia tidak membawa alat tulis, Guru tersebut meminjamkan alat tulis berupa Sabak (semacam papan yang terbuat dari batu) untuk menulis, ini untuk pertama kalinya Rimin memegang Sabak kemudian dia masuk kelas dan menerima pelajaran pertama. Rupanya Rimin termasuk anak yang cerdas, dengan cepat dia bisa menyesuaikan situasi dan menerima pelajaran yang diberikan oleh Guru.
Sementara Rimin menyelesaikan pelajarannya, Bapak menunggu diluar sambil Membuka bekal berupa rokok lintingan. Klepus . . . klepus . . . asap putih berbau tembakau dan kemenyan segera tercium di radius 20 meter. Hingga selesai pelajaran, Bapak sudah menghabiskan 8 linting rokok. Akhirnya mereka pulang ke rumah dengan penuh rasa suka cita.
Rimin mulai mempunyai rutinitas baru, yakni sekolah. Namun ia tidak melupakan kewajibannya untuk membantu Bapak mencari Nafkah. Jam 04.00 Rimin sudah bangun langsung menuju ke sawah untuk mencangkul. Acara mencangkul dari jam 04.00 sampai pukul 05.30 setelah itu Rimin bergegas pulang untuk mandi dan siap-siap berangkat ke sekolah. Tidak setiap hari Thiwul tersedia di meja makan. Sehingga kadang-kadang bahkan sering Rimin tidak bisa sarapan pagi, hanyalah air putih yang langsung dia minum dari Kendi yang menjadi sarapannya. Namun hal itu tidak melemahkan semangat Rimin untuk bersekolah.
Rimin berangkat sekolah dengan berjalan kaki, maklum waktu itu sepeda masih menjadi barang yang sangat mewah. Jarak yang ditempuh 5 km membuat fisik Rimin semakin terbina, karena selain jalan tanpa alas kaki, dia juga sering berlari menuju ke sekolah. Rutinitas mencangkul dan Berlari menuju ke sekolah ini yang menempa Rimin menjadi sosok yang kuat.
Setelah naik ke bangku kelas 4, Rimin pindah sekolah di SD Gunung Sari, jaraknya lebih jauh dari SD Krandegan yakni 8 km. Masih dengan rutinitas mencangkul dan berlari setiap hari ia selalu lakukan. Akhirnya di tahun 1955 Rimin lulus dari SD. Setelah lulus SD Rimin mendaftar di STN ( Setingkat SMP) di Jati Srono yang jaraknya lebih jauh lagi, yakni 10 km . . . ck ck ck . . . .
Berarti setiap hari Rimin harus berjalan/berlari 20 km (PP) tanpa alas kaki??? Oh My God !!!! Sejenak saya ( penulis ) membayangkan dan mencoba ikut merasakan penderitaan / kesengsaraan yang dialami oleh Rimin Remaja . . . . . Yaa. . . . memang sangat berat perjuangan Sang Rimin untuk bisa bersekolah. Beda dengan orang jaman sekarang, betapa mudahnya mendapatkan sekolah, namun males untuk belajar.
Kembali ke Laptop . . . . Singkat cerita Rimin menyelesaikan pendidikan STN pada tahun 1958, berarti umurnya saat itu 21 tahun. Setelah lulus, Rimin belum juga mendapatkan pekerjaan, sehingga dia memutuskan untuk ikut kakaknya Kang Ridi pergi ke Semarang untuk bekerja serabutan. Di Semarang Ridi dan Rimin bekerja pada seorang Juragan China disuruh mencangkul kebun miliknya untuk ditanami pohon singkong dan pisang. Uang hasil bekerja dia simpan dan kumpulkan rencananya untuk diberikan kepada Bapak & Ibu tercinta. Setelah 3 bulan berada di Semarang, Rimin mendapat kabar dari salah seorang kerabat yang kerja di Semarang namun habis pulang dari Wonogiri tentang adanya penerimaan pendaftaran Tentara di Kota Wonogiri. Kang Ridi menyarankan agar Rimin ikut mendaftar karena fisik Rimin yang lumayan bagus dan kuat. Saat itu Rimin belum begitu tertarik, karena baru 3 bulan bekerja di Semarang. Akhirnya Kang Ridi membelikan sebuah Jam Tangan dengan harapan Rimin semangat untuk mengikuti pendaftaran Tentara.
Karena sudah disogok Jam Tangan oleh Kang Ridi, maka mau tidak mau Rimin segera pulang ke Wonogiri. Hari Rimin sangat berbunga-bunga, karena dikasih Jam Tangan yang begitu bagus dan mewah bagi seorang Rimin. Sesampainya di Wonogiri, Rimin segera mendaftarkan diri di Panitia Penerimaan Secatam. Saat mendaftar umur Rimin sudah 22 tahun dan sudah hampir melewati batas maksimal pendaftara, untuk mengatasinya maka umurnya dimudakan 3 tahun, dan mempunyai tanggal lahir baru, yakni 18 Agustus 1940. Tanggal inilah yang kelak ( hingga masa tua ) selalu dirayakan sebagai hari ulang tahun.
Saat itu seleksi yang diutamakan adalah fisik dan mentalnya. Rimin sangat mumpuni di kedua-duanya, karena sudah terbiasa nyeker dan berlari dengan jarak yang sangat jauh. Setelah mengikuti beberapa test, akhirnya Riminpun lolos untuk menjalani pendidikan Secatam di Ridam VII Magelang.
Ada kejadian lucu, dimana peserta yang lolos harus membawa sepatu Cat. Karena Rimin belum punya sepatu, maka dengan berat hari dia jual Jam Tangan pemberian Kang Ridi, hasilnya untuk membeli sepatu Cat. Dan yang lebih lucu lagi . . . ini untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya Rimin punya / pakai Sepatu Wow. Akhirnya Rimin berangkat juga ke Magelang. Dan Kesabaran serta Penderitaan yang selama ini dialami membuahkan hasil yang sangat luar biasa Manisnya.
Berikut Riwayat Pendidikan, karier dan jabatan Pak Rimin :
1. Pada tahun 1959, Pendidikan Secata di Rindam VII Magelang
2. Pada tahun 1960 sekolah Kejuruan Kavaleri di Cibangkong Bandung
3. Selesai Kejuruan, ditempatkan di Yonkav-2/Sersus Magelang sbg anggota regu.
4. Pada tahun 1961, tugas operasi PRRI di Padang
5. Masih tahun 1961, kursus kejuruan di Padalarang
6. Pada tahun 1962, tugas operasi DI/TII Karto Suwiryo
7. Awal tahun 1963, pendikan Secaba di Padalarang
8. Pada tahun 1964, selesai pendidikan kembali ke satuan asal
9. Tahun 1964 – 1968, menjabat sebagai Danran ( Serda – Serka )
10. Tahun 1968 – 1971, menjabat sebagai Sersan Pleton ( Serka – Serma )
11. Tahun 1971 – 1973, menjabat Danton Kom ( Pelda – Peltu )
12. Pada 1 Maret 1973, pindah ke Kodim 0732/Sleman sebaga Ba Ops
13. Pada tahun 1974 – 1977, pindah ke Primkop Kodim 0732/Sleman
14. Pada tahun 1978 – 1979, menjabat Kaprim Koperasi Kodim 0732/Sleman
15. Pada tahun 1979 – 1980, Danramil Godean dengan pangkat Peltu
16. Pada tahun 1980-1981, Pendidikan secapa di Lembang
17. Selesai pendidikan tahun 81 kembali ke Danramil Godena hingga tahun 1986 dengan pangkat terakhir Lettu
18. Tahun 1986 – 1987 , menjabat Danramil Depok Sleman
19. Tahun 1987 – 1989, menjabat Pasiops Kodim Sleman
20. Tahun 1989 – 1991, menjabat Danramil Sleman Kota
21. Tahun 1991 – 1995, menjabat Danramil Godean. Hingga pensiun
tobe continued ya !!!
Diposting oleh arinugraha di 07.10 3 komentar
08 Juni 2009
Cinta Seorang Ibu
Sang Ibu sering sekali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya . Adapun anaknya mempunyai tabiat yang sangat buruk, yaitu suka mencuri, berjudi,mengadu ayam, dan banyak lagi yang membuat si ibu sering menangis meratapi nasibnya yang malang. Namun begitupun ibu tua itu selalu berdoa kepada Tuhan, “Tuhan tolong Kau sadarkan anakku yang kusayangi, supaya ia tidak berbuat dosa lebih banyak lagi. Aku sudah tua dan aku ingin menyaksikan dia bertobat,sebelum Aku mati.
Namun semakin lama si Anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya. Sudah sangat sering ia keluar masuk bui karena kejahatan yang dilakukannya.
Suatu hari ia kembali mencuri di sebuah rumah penduduk desa. Namun malang nasibnya akhirnya ia tertangkap oleh penduduk yang kebetulan lewat. Kemudian dia dibawa ke hadapan Raja untuk diadili sesuai dengan kebiasaan di Kerajaan tersebut. Setelah ditimbang berdasarkan sudah seringnya ia mencuri, maka tanpa ampun lagi si Anak tersebut dijatuhi hukuman Pancung. Pengumuman hukuman itu disebarkan ke seluruh desa. Hukuman pancung akan dilakukan keesokan harinya didepan rakyat desa dan kerajaan tepat pada saat lonceng Gereja berdentang menandakan pukul enam pagi.
Berita hukuman itu sampai juga ke telinga si Ibu. Dia menangis ,meratapi Anak yang sangat dikasihinya. Sembari berlutut dia berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, Ampunilah Anak Hamba.Biarlah HambaMu yang sudah tua renta ini yang menanggung dosa dan kesalahannya. Dengan tertatih-tatih dia mendatangi Raja dan memohon supaya anaknya dibebaskan, tapi keputusan sudah bulat, si Anak tetap harus menjalani hukuman. Dengan hati hancur si Ibu kembali ke rumah . Tidak berhenti dia berdoa supaya anaknya diampuni.Karena kelelahan dia tertidur dan bermimpi bertemu dengan Tuhan.
Keesokan harinya, ditempat yang sudah ditentukan ,rakyat berbondong-bondong untuk menyaksikan hukuman pancung tersebut. Sang Algojo sudah siap dengan Pancungnya, dan si Anak tadi sudah pasrah menantikan saat ajal menjemputnya. Terbayang di matanya wajah ibunya yang sudah tua, tanpa terasa dia menangis menyesali perbuatannya.
Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Sampai waktu yang ditentukan, lonceng Gereja belum juga berdentang. Suasana mulai berisik. Sudah lima menit lewat dari waktunya. Akhirnya didatangi petugas yang membunyikan lonceng di Gereja. Dia Juga mengaku heran, karena sudah sedari tadi dia menarik lonceng tapi, suara dentangnya tidak ada.
Ketika mereka sedang terheran-heran, tiba-tiba dari tali yang di pegangnya mengalir darah. , darah tersebut datangnya dari atas,berasal dari tempat di mana Lonceng diikat. Dengan jantung berdebar-debar seluruh rakyat menantikan saat beberapa orang naik ke atas menyelidiki sumber darah itu. Tahukah Anda apa yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng besar itu ditemui tubuh si Ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk Bandul di dalam lonceng yang mengakibatkan lonceng tidak berbunyi, sebagai gantinya kepalanya yang terbentur ke dinding lonceng.
Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata . Sementara si Anak meraung-raung memeluk tubuh ibunya yang sudah diturunkan.Dia menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya. Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke Atas dan mengikat dirinya di lonceng tersebut serta memeluk besi di dalam lonceng,untuk menghindari hukuman pancung anaknya.
Demikianlah, sangat jelas kasih seorang ibu untuk anaknya, betapapun jahatnya si Anak. Marilah kita mengasihi orang tua kita masing-masing ,selagi kita masih mampu karena mereka adalah sumber kasih Tuhan bagi kita di Dunia ini. Amin.
Sesuatu untuk dijadikan renungan untuk kita agar selalu mencintai sesuatu yang berharga yang tidak bisa dinilai dengan apapun.
Diposting oleh arinugraha di 16.01 1 komentar
12 Mei 2009
Bapak by Didi Kempot
Rambut wes ra ireng wes maleh rupane
ireng dadi putih saikineee....
Dino tambah dino umur tambah tuwo
nanging .... koyo koyo ora diroso
Ngadek dadi cagak, nyonggo piringe anak
Mempeng kerjo ora mikir rogo
Paribasan umur wes akeh cacahe
Nganti bingung... anggonku ngetunge
reff :
Bapak bapak tekadmu kuwi tak puji
Bapak bapak kowe koyo senopati
Bapak bapak panasmu ngungkuli geni
Bapak bapak keno angin soyo dadi
Senadyan uwes tuwo nekad mempeng kerjo
Nyambut gawe... kanggo nguripi keluargo
Bapak. senajan umurmu wis tuwo
Nanging tekadmu biso kanggo tulodho
Aku anakmu biso mung biso memuji
Mugi mugi Bapak tansah pinaringan
Bagas Waras saking Gusti Ingkang Maha Kuasa
Nikmati lagunya . . . klik tampilan dibawah ini
dijamin anda pasti mbrambagi . . .
Diposting oleh arinugraha di 11.42 1 komentar
09 Mei 2009
Temen sekolah
Coba mengingat-ingat temen2ku jaman dulu ahh . . .
Temen dan Guru SD Bobkri II Rewulu (1982-1988) :
Murid :
1. Sumadi
2. Pusak ??
3. Ahmad Ramdani
4. Nur Suliantoro
5. Sriyono
6. Tiweng ??
7. Susilo
8. Raini Tyas Utami
9. Didik Sulistiawan
10. Totok
11. Suhari Kartini
12. Maria Suharyanti
13. Agnes Ratna Diyahningsih
14. Lilik Sarwoko
15. Ponirah
16. Susiwi
17. Sumiyati
18. Bantolo Suprayitno
19. Mulyono
20. Maria Ike Rahayu
21. Sri (Paijo)
22. Komarudin
23. Kusmiyati
24. Suripto
25. Kristina SUmartini
26. Kriswanto
27. Wiwit
Guru :
1. Pak. T. Tjipto Sudarmo
2. Ibu. Kasiati
3. Ibu. Pardi
4. Ibu. Karti
5. Pak. Wagiman
6. Pak. Katijo
7. Pak. Wiji ( Tukang Kebon )
Beberapa nama temenku di SMPN Argomulyo yang masih ku ingat (1988 - 1991)
1. Agung Cahyo Utomo
2. Anita Arisanti
3. Bekti Liestyaningsih
4. Eri Weningsih
5. Lilik Farida Widiyani
6. Muhammad Syaiful Bahri
7. Nuryatmojo Gora Pawana
8. Siti Nurohmah
9. Siti Mustonah
10. Nurul Farida
11. Nurul Niza
12. Kusmawarti
13. Susiwi Waldiyati
14. Kurniati Yuliatun
15. Christiana Waridah
16. Gunawan
17. Widodo
18. Iwan
19. Sugeng Raharjo
20. Sevanus Eko Purwantyo
21. Aris Juni Kurniawan
22. Wahyu Muji Mulyono
23. Danang Wijayanto
24. Suryanto
25. Wibawa Ari Nugraha
Guru :
1. Pak. Bandio (elektro )
2. Pak. Sujoko
3. Pak. Sugito (Fisika )
4. Pak. Ruscahyanto ( Guru Agama )
Kantin : Bu Dasiman
Temen2 SMAN 1 Godean ( 1991-1994 ) :
1. Awan Budiarjo
2. Agus
3. Doby Vondanto
4. Haryo Sadewo Putro
5. Endratno Wintolo Herbagus Wibowo
6. Dini
7. Beta Sas Mutiara
8. Mulyadi ( tingal kelas )
9. Susanti
10. Anastasia Suratini
11. Bernadeta . . . . .
12. Margaretha . . . .
13. Yeni Dian Anggraini
14. Rini Widiastuti
15. Heru
16. Ana Suhartiningsih
17. Yuli Srahati
18. Yuli Sumarmi
19. Andree Tiyono Kurniawan
20. Ari Aryono
Waduh lg error nih . . . . kenapa ga bisa inget semua ya ???
Payah nih .. . . ..
Temen maen waktu kecil :
1. Sugeng ( Jagonya bikin mainan )
2. Mbendul ( Jago Jamu Jago )
3. Koclock ( Temen gawe mercon )
4. Gotek ( Temen Golek Akik )
5. Edi ( Temen Golek Mlinjo )
6. JP ( Temen Nyuluh Iwak / Mbeleh Kirik )
7. Pomo ( Temen Nyuluh Iwak / Mbeleh Kucing )
8. Purwoko ( Temen Nyuluh )
9. Mang Awing ( Temen Maju Nyanyi sekolah minggu )
10. Margono ( Temen Nyuluh Welut )
11. Tholek ( Temen angon Kebo )
12. Kenting ( Temen Dolan )
13. Gunadi ( Temen Benthik )
14. Primbon ( Temen Golek Tebu )
15. Gondez ( Temen Nyuluh)
Diposting oleh arinugraha di 02.06 0 komentar
Label: reuni
02 Maret 2009
Kiai Wirodjombo Dono Murah II
Nyadran adalah upacara mengirim doa dalam skala besar. Ditujukan untuk arwah leluhur. Prosesinya melibatkan orang sekampung. Di makam makam keramat yang masih diakui daya magisnya, Nyadran dihadiri pula oleh sekelompok komunitas pelaku budaya spiritual. Seperti di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah berikut ini.
POSMO-Nyadran di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah telah berlangsung turun-temurun. Diadakan setiap malam tanggal 20 Ruwah. Namun tahun ini, upacara Nyadran diselenggarakan sehari lebih awal. Rangkaian upacaranya pun berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. Tahun ini, Nyadran di makam pepundhen dusun yang diyakini sebagai pengawal Sultan HB I tersebut disertai dengan kirab gunungan. Di berbagai daerah di kabupaten Sleman dan Bantul, Jogjakarta, kini memang sedang marak dilakukan kirab gunungan pada setiap upacara adat dusun.
Gito Utomo (58), juru kunci makam Kiai Wirodjombo Dono Murah mengatakan, inisiatif mengadakan kirab gunungan itu datang dari para warga. Mulanya, ia mengaku kurang sreg dengan kirab gunungan itu. Sebab, sejak nenek moyang, upacara Nyadran di makam pepundhennya tak pernah menyertakan kirab gunungan. Namun, setelah diadakan kontak batin dengan roh pepundhennya, ternyata kirab gunungan itu diperkenankan.
Dari pantauan posmo, belakangan ini kirab gunungan seperti sedang menjadi trend. Berbagai upacara adat yang ada di wilayah kabupaten Sleman dan Bantul yang semula tak pernah menyertakan gunungan, kini mulai menggunakan gunungan. Beberapa tokoh sepuh mengatakan, kirab gunungan itu lebih ditujukan untuk meningkatkan daya tarik wisata. Padahal, kirab gunungan sebenarnya hanya untuk upacara adat yang memang sejak awal sudah menggunakannya.
Namun selama perubahan prosesi sebuah ritual tak mengurangi kekhidmatan ritualnya, inovasi apa pun tak masalah. Justru menjadi ikon baru yang menunjukkan adanya perkembangan budaya. Demikian kesimpulan yang bisa terangkum dari banyak pendapat para sepuh di berbagai daerah di Sleman dan Bantul.
Begitu pula pendapat Gito Utomo, juru kunci dan rois makam Kiai Wirodjombo yang baru mengalami perubahan prosesi dengan adanya kirab gunungan pada hajatan Nyadran tahun ini. Meski perubahan itu menyedot lebih banyak peserta dan hadirnya Wakil Bupati Sleman, Gito menyayangkan ketidak-hadiran utusan dari Keraton Jogjakarta seperti tahun tahun sebelumnya.
Saudara Tua Mangkubumi
Dari jumlah peserta atau jemaat tahlil, Nyadran di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah tahun ini memang meningkat. Mencapai ribuan orang. Biasanya, Nyadran di makam itu hanya dihadiri oleh ratusan orang, termasuk dari paguyuban pengaosan Selasa Kliwon. Para warga duduk berdesakan di antara nisan, beralaskan tikar atau bekas karung tepung terigu. Doa bersama atau tahlil dan dzikir dipimpin oleh rois Gito Utomo. Dimulai pukul 20.00 WIB dan selesai sekitar tengah malam.
Sesudah tahlil, diadakan pembagian kendhuri berupa nasi gurih lauk ingkung yang telah dikemas dalam ribuan takir kecil. Dipercaya, sejumput nasi gurih dalam takir atau semacam cawan kecil terbuat dari daun pisang itu ada berkahnya. Beberapa orang juga berebut potongan tumpeng, yang pada setiap upacara Nyadran di makam Kiai Wirodjombo itu sejak dulu memang hanya menyertakan 3 tumpeng saja. Gito mengatakan, untuk sesaji khusus di nisan Kiai Wirodjombo tak boleh direbutkan. Sesaji khusus itu adalah tumpeng kecil dan ingkung, kopi dan teh tubruk, rokok klobot serta air putih dan air tajin. Uba rampe itu, menurutnya, merupakan makanan kesukaan Kiai Wirodjombo Dono Murah semasa hidupnya.
Kiai Wirodjombo diyakini sebagai saudara tua Pangeran Mangkubumi. Pertemuan keduanya terjadi saat Pangeran Mangkubumi sedang mencari tempat untuk mendirikan kerajaan baru (Kasultanan Jogjakarta). Dikisahkan Gito, Kiai Wirodjombo gemar memancing ikan di sungai Gagak Suruh. Sungai itu terletak di sebelah Timur makam. Saat itu, dusun Gancahan belum ada.
Ketika keluar dari istana Mataram-Surakarta, BRM. Sujono yang bergelar Pangeran Mangkubumi, putra Sunan Mangkurat IV mencari tempat untuk mendirikan kerajaan baru. Pangeran Mangkubumi melanglang buana, hingga bertemu dengan Kiai Wirodjombo. Pangeran Mangkubumi tidak tahu, bahwa Kiai Wirodjombo itu adalah saudara tuanya, putra Sunan PB I yang lahir dari garwo selir, Nyai Randa Cumbing. Sebaliknya, Kiai Wirodjombo mengenal jati diri Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan terjadi saat Kiai Wirodjombo sedang memancing di sungai Gagak Suruh. Saat itu, Pangeran Mangkubumi melihat tubuh Kiai Wirodjombo bersinar. Setelah saling mengenal, Pangeran Mangkubumi meminta Kiai Wirodjombo menjadi pengawalnya, dan membantu mencari tempat mendirikan kerajaan. Bersama Kiai Wirodjombo itulah, ditemukan tempat yang cocok untuk mendirikan kerajaan baru.
Setelah kerajaan baru yang kemudian dikenal dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat selesai dibangun, Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan HB I. Namun, Kiai Wirodjombo tidak mau tinggal di dalam keraton. Beliau memilih kembali ke padepokannya di pinggir sungai Gagak Suruh yang kini menjadi makamnya. Semasa perang kemerdekaan, tempat kediaman Kiai Wirodjombo itu menjadi kancah peperangan. Siapa pun yang berlindung di padepokannya, selalu terhindar dari terjangan peluru kompeni Belanda. Daerah itu kemudian dinamai dusun Gancahan, dari kata kancah. Ada pun makam Kiai Wirodjombo disebut makam Suruh lantaran dekat dengan sungai Gagak Suruh.
Semasa hidupnya, Kiai Wirodjombo bercocok tanam. Hasilnya dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Dituturkan Gito, di kala itu Kiai Wirodjombo selalu menyediakan tali untuk mengikat kacang panjang dan tanaman lainnya, agar setiap orang mudah membawa hasil bercocok tanamnya. Karena suka berderma, namanya lalu diberi tambahan Dono Murah. Sedang kegemarannya memancing, hingga kini meninggallkan bekas berupa banyaknya kolam pemancingan yang laris. Tempat di mana Kiai Wirodjombo biasa memancing, kini diabadikan dengan menjadikannya bendungan berisi ikan, dan direncanakan akan dibangun sebuah taman pemancingan yang lebih besar.
Diposting oleh arinugraha di 16.16 0 komentar
Kyai Wirodjombo Dono Murah Pepunden Cikal Bakal dusun Gancahan
Ruwah adalah bulan sakral bagi kaum Jawa. Bulan ketujuh dari kalender Jawa yang mulai diberlakukan sejak tahun 1555 Saka atau 1633 Masehi. Angka tahun tersebut merupakan saat pertama kalinya kalenderisasi Hindhu (Saka) dibarengkan dengan kalenderisasi Jawa dan Islam (Hijriyah), oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Maka, banyak momen momen penting dan sakral bagi kaum Jawa yang waktunya hampir bersamaan dengan hari hari besar umat Islam. Mulai dari perayaan tahun baru Islam yang bersamaan dengan tahun baru Jawa, Suro, dan bulan penyucian diri menjelang Ramadhan tiba, Ruwah.
Tetapi sebagai laku budaya spiritual, Ruwahan yang selalu diikuti dengan tradisi Nyadran atau mengirim doa untuk para arwah leluhur dan nenek moyang, telah ada sejak zaman pra Hindhu dan Islam. Dengan kata lain, Nyadran merupakan budaya asli Jawa. Demikian menurut Suharjendro, BA, Ketua Bebadan Basa Lan Kabudayan Nataharsana (Bebana) Jogjakarta, yang juga pengajar bahasa Jawa program studi pendidikan guru Universitas Sanata Darma Jogjakarta.
Suharjendro juga mengatakan, kini hampir tak mungkin mengungkap tradisi Nyadran sebagaimana aslinya dahulu. Pasalnya, pergesekan budaya dari zaman ke zaman telah sedemikian banyak merubah keasliannya. Paling pokok, menurutnya, adalah tata cara doanya. Seperti diketahui, kaum asli Jawa memiliki tata cara doa yang berbeda. “Namun, tetap saja doa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Esa”, ujarnya saat ditemui di kediamannya. Nyadran, menurutnya, merupakan tradisi asli Jawa yang berakar dari upacara Srada. Artinya menghormati arwah leluhur. Di zaman Majapahit-Hindhu, Srada dilakukan di candi candi karena di sanalah abu jenazah para leluhur disimpan dalam sebuah cupu. “Peran winasis para Wali penyebar agama Islam membuat upacara Srada itu lalu secara halus dan dari zaman ke zaman berubah tata caranya menjadi seperti sekarang”, terangnya, seraya menyambung, tak ada pranata baku terkait Nyadran itu. Sekalipun ada, sambungnya, tak mungkin bisa diterapkan karena keberagaman budaya di masing-masing tempat.
Uba Rampe Wajib
Meski tak ada tata cara baku, Nyadran mensyaratkan sejumlah uba rampe sesaji yang mutlak harus ada. Uba rampe itu adalah apem, ketan dan kolak. Tiga sesaji ini sering dimaknai secara Islami dengan menghubungkannya dengan bahasa Arab. Apem lalu diyakini berasal dari kata Afuan yang berarti ampunan. Ketan dari kata khoto’an yang berarti putih dan suci. Sedangkan kolak dari kata kholaqo yang berarti Sang Pencipta. Ketiga sesaji itu lalu dimaknai sebagai simbol ingat Tuhan dan memohon ampunan supaya bersih dari dosa, yang dilakukan secara khusus dalam sebuah ritual (Nyadran) menjelang datangnya bulan puasa.
Kaum Jawa sendiri mengartikan kolak sebagai ojo ditolak. Artinya, segala permohonan semoga jangan sampai ditolak. Ketan diartikan raket atau rekat, yang mengandung makna agar doa kawulo menyatu atau manunggal dengan Gusti. Di beberapa tempat di Jawa, tiga sesaji pokok itu ditambah dengan tumpeng dan nasi gurih beserta lauk berupa ingkung ayam. Nasi gurih merupakan lambang anugerah Tuhan yang selalu terasa gurih atau nikmat. Demikian terang Gito Utomo (58), juru kunci dan rois makam Kiai Wirodjombo Dono Murah, yang belum lama ini juga menyelenggarakan upacara Nyadran di makam pengawal Sultan HB I tersebut.
Gito menjelaskan, secara pribadi mengirim doa di bulan Ruwah juga dilakukan di makam orangtua masing-masing. Upacara ini disebut nyekar. Dari kata sekar yang berarti bunga. Ada pun Nyadran, merupakan upacara mengirim doa dalam skala besar, melibatkan orang sekampung atau sekelompok masyarakat yang mempercayai adanya makam pepundhen. “Karena itu, Nyadran seringkali digelar di makam makam pepundhen dusun dan waktunya telah ditetapkan. Di dusun kami, Nyadran diselenggarakan di makam Kiai Wirodjombo”, jelasnya.
Diposting oleh arinugraha di 16.10 0 komentar
Gancahan Tempoe Doeloe
Kompleks pertama terletak di susun Perakbulus. Pimpinan pabriknya yang lebih dikenal dengan sebutan administratuur berada di kompleks ini. Kompleks kedua adalah Dusun Sembuhlor, ketiga dusun Brongkol, dan keempat Dusun Sembuh Wetan. Desa terakhir ini berbatasan dengan dusunku dan hanya dipisahkan jalan beraspal.
Setiap kompleks dibatasi dengan tembok setinggi 3 meter, sehingga ada jarak antara rumah mereka dengan rumah penduduk yang biasa mereka sebut dengan istilah inlander.
Para Belanda ini memang tak mau bergaul, baik Belanda yang tua maupun sinyo, atau noni, anak-anaknya. Hanya seorang saja yang dikenal oleh penduduk di dusunku dan dusun sekeliling, namanya Phillip van Haaster. Tetapi karena banyak penduduk buta huruf, untuk mengucap nama Phillip, mereka sukar. Akhirnya mereka menyebutnya, ‘Sinyo Plipik’.
Dialah satu-satunya anak Belanda yang suka ke luar masuk rumah penduduk. Apa sebabnya ? Sampai disini terpaksa aku harus menceritakan kehidupan penduduk di desaku, yang selain petani juga banyak yang bekerja di pabrik-pabrik, maupun perkebunan tebu.
Tetapi untuk memnuhi kebutuhan sendiri, pada umumnya mereka menyadap pohon kelapa, yang istilah Jawanya disebut nderes, menyadap mira dari bunga kelapanya. Ini harus dilakukan dengan memanjat pohon kelapa dua kali sehari pagi dan sore, dan tidak boleh lowong.
Miranya diproses secara sangat sederhana. Setelah dimasak dengan api dari dedaunan kering yang sangat banyak, setelah cukup matang, miranya dicetak dengan pecahan tempurung kelapa. Tempurung kelapa ini dibelah menjadi dua, dan dibawahnya diberi lubangi sekitar 1 cm.
Lubang itu kemudian ditutup dengan sepotong daun pisang, dan mira yang telah berubah warnanya menjadi kemarahan ini, dituang ke atas belahan tempurung kelapa tadi. Tempurung tersebut sebelumnya diletakan di atas anyaman bambu yang paling sedikit mampu menampung 20 belahan tempurung.
Kerak mira yang melekat pada belanga tanah, dan tidak dicetak menjadi gula, disebut gulali. Gulali ini biasanya diberikan kepada anak-anak. Gulali inilah yang menyebabkan Sinyo Plipik keluar masuk rumah penduduk.
Tanpa malu-malu ia meminta gulali ini. Pada liburan sekolah, ia makin kerap keluar masuk. Dia berkeliaran di dusun dengan otopet, yang bentuknya seperti sepeda tetapi tanpa pedal dan tempat duduk. Dan antara orang depan dan roda belakang dipasang papan berukuran 15 x 40 cm.
Kendati kerap keluar masuk rumah meminta gulali, Sinyo Plipik ini kurang ajar sekali. Seringkali ia memukul anak penduduk, dan tidak segan-segan berebut gulali milik mereka. Dan ini terjadi di depan mataku, ketika itu aku masih duduk di kelas tujuh. Ia bersekolah di Europische School, sedang aku di HJS.
Waktu itu sekolah tengah libur. Ayah sedang memimpin rapat pamong desa, dan aku bersama 5 anak-anak tetangga sedang bermain kelereng.
Permainan kami juga ditonton oleh beberapa anak lelaki dan perempuan. Diantara mereka, ada Pairah yang sambil menonton memegang gulali.
Tiba-tiba tanpa kami duga muncul Sinyo Plipik dengan otopetnya, ia langsung menuju ke arah kami. Tanpa kami duga juga, dia merebut gulali Pairah. Keruan saja Pairah menjerit, sementara Plipik, karena stang otopetnya hanya dipegang dengan sebelah tangan, oleng dan menabrak Jiman.
Jiman saat itu tengah berjongkok, dengan tangan kanan memegang kelereng yang ditujukan kepada kelerengku.Jiman terjatuh rebah ke tanah, dengan teriak kesakitan. Tapi justru Sinyo Plipik memakinya, “God verdomme zeg jij inlander !”.
Otopetnya menabrak pagar bambu kebunku. Dan karena kekurang ajaran itu, dia kukejar dan kuhantam tiga kali. Oleh keributan itu, rapat pamong bubar, mereka berlari ke arah kami, juga para tetangga lainnya.
Penduduk sudah tahu jika Plipik memang kurang ajar.
Lewat jam 13.00, sebuah mobil Ford masuk ke halaman rumahku, ternyata van Haaster bersama Phillip dan 3 orang polisi. Dua orang sudah kami kenal, yakni Paman Harjoprawoto, yang ayahnya adalah adik kakekku. Seorang lagi Joyomuji, yang juga sudah dikenal rakyat di dusunku, dia satu desa dengan kami. Cuma seorang yang belum kami kenal.
Plipik langsung menunjuk dengan mengatakan bahwa aku yang menempeleng dia. Tetangga sekeliling pun berdatangan, anak-anak membenarkan keteranganku. Dan tiada seorang pun yang membela Plipik, polisi pun tidak bisa menjadikannya perkara.
Van Haaster marah karena ‘hanya’ inlander kok berani sama anak Belanda. Haaster mengancam ayah akan dipecat. Tiga hari berikutnya ayah dipanggil pak camat dan pak wedana, tetapi pamongnya membela ayah, dan jelas yang diperkarakan adalah kejadian dengan Sinyo Plipik ini.
Pendeta J. Backer yang menggantikan van Aanlar beserta Pendeta Sudarmo dan Penginjil Adam Tomas penggantinya Raden Cokroatmojo, mencari keterangan mengapa sampai aku berkelahi dengan anak Belanda.
Belum sampai setengah bulan, Kanjeng Bupati Sleman memanggil ayah beserta anak-anak yang terlibat dan orang tuanya. Ketiga polisi tadi pun datang, sebaliknya pihak belanda tidak datang. Akhirnya Pak Bupati berkata, “Cuma Belanda pabrik, kok mau memecat lurah. Tidak bisa, yang berwenang memecat itu aku, dan aku tak akan memecat Lurah Kertowiharjo”
2
Kisah ini terjadi aku kelas 2 SMP, yang ketika itu masih bernama MULO (Middelbare Univeshele Lager Onderwijs), tahun 1942 ketika Pemerintah Hindia Belanda kalah dalam perang dunia dengan tentara Dai Nippon (Jepang).
Rakyat desaku yang masih 99% buta huruf. Anak-anak yang sekolah di “Sekolah Ongko Loro” yakni SD 5 tahun, dan belum tentu setiap dusun mempunyai anak-anak yang sekolah. Kalu mau dihitung yah, tidak lebih dari jari kedua tangan.
Pengetahuan politik ? kami tidak tahu itu. Aku pernah dengar percakapan orang yang bertanya, makanan apa sih yang namanya ‘politik’ itu ? Tetapi satu, yang sama pada setiap orang yakni dendam terhadap Belanda., khususnya orang-orang Belanda Pabrik Gula Rewulu yang terletak di desaku Sidomulyo, Godean Sleman Yogyakarta.
Belanda sebagai penjajah memang kejam. Meskipun kompleks perumahannya hanya dibatasi dengan sebuah dinding yang Cuma 3 meter tingginya, mereka samasekali tak mau bergaul dengan pribumi. Para pekerjanya, baik di pabrik, di lapangan pemasang-pemasang rel lori, dan di perkebunan tebu; tidak pernah menunjukkan sikap bersahabat.
Para pekerja Belanda ini yang terbanyak tinggal di desaku. Meskipun dengan tetangga yang jarak rumahnya hanya beberapa meter saja, mereka tak mau bertegur sapa. Mereka bersikap sebagai penjajah, penduduk harus memanggilnya dengan sebutan ‘ndoro tuan’ yang artinya ‘tuan yang terhormat’.
Kalau seseorang yang lewat di jalan yang di depan rumahnya berbicara keras memanggil orang lain, atau berlari atau berjalan dengan langkah tegap, pasti dimaki-maki. Misalnya, sore hari jika para Belanda itu sedang duduk-duduk di teras, atau sedang ada tamu; para pribumi dilarang memandang ke arah mereka, jika kami melakukannya pasti dicaci-maki.
Bulan Mei (seingatku) Gubernur Jendral van Mook, bertekuk lutut pada Tentara Dai Nipon. Berita itu, tersiar luas dengan cepat. Orang dari desaku, ada beberapa yang bekerja di kota, beberapa perempuan yang berdagang di Pasar Beringharjo; mengatakan bahwa di halaman Gedung Agung dan di Benteng Vrijdenburg tidak lagi dikibarkan bendera Belanda.
Tiga hari setelahnya, ada berita lain mereka bawakan, mereka mengatakan bahwa tentara Dai Nipon sudah tiba di Yogyakarta. Entah siapa yang mengomando, beberapa orang pemuda membuat kentongan dari bambu. Jam 20.00, para pemuda sudah berkumpul di rumahku. Lebih dari 25 orang, setiap orang membawa kentongan bambu yang suaranya berbeda-beda.
Sejam kemudian, rombongan itu meninggalkan rumahku dan mulai memukul kentongan dengan irama meronda. Beberapa orang tua mengomel karena tidak tahu, mengapa baru jam sembilan kok sudah keliling kampung.
Tetapi manakala rombongan kami semakin menjauh dan memasuki kompleks perumahan Belanda, mereka mulai mengerti. Dan ternyata dari Dusun Sembuh Wetan, juga muncul rombongan lain dengan jumlah lebih banyak, kira-kira 40 orang. Jadi rombongan kami pun menjadi lebih besar.
Ketika mulai memasuki kompleks, kentongan kami pukul lebih keras lagi. Biasanya, menghadapi situasi seperti ini, pasti para Belanda ini sudah marah-marah. Kini bukan Belanda yang marah-marah, tetapi kami berteriak-teriak.
“Melek-melek, Jepange teka nagkep Londo (berjaga-jagalah orang jepang dating untuk menangkap orang Belanda)”. Kata-kata lantang dilontarkan tanpa segan-segan lagi. Doornick yang rumahnya paling ujung, dan paling besar -karena jabatannya sebagai sinder kepala kebun, membuka pintu depan.
Kami mengira dia akan marah-marah, tetapi tak apa, itu akan menambah keberanian kami. Suara kentongan bambu, disertai yel-yel yang menghina Belanda, membuat dusun menjadi sangat gaduh. Sadar akan situasi itu, Doornick menutup pintu kembali. Ketakutan Doornick membesarkan semangat kami.
Sinyo Plipik yang dikenal kurang ajar, tak urung jadi sasaran. “Plipik, keluarlah, Plipik keluarlah hadapi kami “Plipik gombal, Belanda gombal, Doornick gombal,” ucapan-ucapan hinaan dilontarkan dengan bebas.
Pasukan kentongan bergerak ke kompleks lainnya, di setiap kompleks perumahan, pasti disebut-sebut nama-nama Belanda yang dikenal jahat, mereka diejek dan dihina. Dan kami terus bergerak dari kompleks ke kompleks, dan baru pulang menjelang pukul 4 dini hari.
Orang-orang Belanda di keempat kompleks itu pasti tidak bisa tidur. Dan berkeliling dengan kentongan dan ejekan ini, kami lakukan sampai seminggu. Dan baru kami hentikan setelah tentara Jepang datang dengan membawa dua truk militer, untuk mengangkut orang-orang Belanda.
Peristiwa itu disaksikan oleh orang banyak. Tampak sekali semuanya tampak loyo dan lunglai. Tak seorang pun yang tampak ceria. Semuanya keluar dari rumah. Tak seorang pun yang berani memandang kami yang sedang menonton. Semuanya menunduk, berjalan dengan kopor dan tas. Di belakangnya Tentara Jepang yang tampak sebagai pemenang.
Dapat dimengerti, betapa perasaan orang-orang Belanda ini, dan bagaimana rasanya setelah selama seminggu tidak diberi kesempatan untuk tidur. Dan kalau siang pun tidak sedikit orang lewat di depan komplek dengan berteriak-teriak yang dulu tak pernah berani melakukannya.
Aku juga ikut beraktivitas meronda karena sekolah diliburkan, karena tidak perlu belajar, maka aku selalu ikut meronda. Dan ikut meneriakkan yel-yel menghina Belanda yang dulunya selalu merasa penjajah, kini terbalik 180 derajat.
Ketika semua Belanda pabrik diangkut dengan truk, kami menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Sampai disini, bagiku yang baru kelas kelas dua SMP, mulai tumbuh pengertian, meskipun tanpa propaganda dan tanpa orasi; rasa bersatu menentang Belanda terwujud. Meskipun hanya dengan tindakan persatuan dengan kentongan. Inilah kenyataan bahwa orang desa yang buta huruf dan buta politik pun tidak mau dijajah.
Diposting oleh arinugraha di 15.59 0 komentar