Apa yang tersimpul dari setiap penelusuran sejarah tradisi Nyadran di bulan Ruwah, adalah akulturasi budaya Jawa dan Islam. Sebagai laku budaya, Nyadran di banyak tempat menjadi beragam tata caranya. Namun, intinya tetap sama. Mengirim doa untuk para arwah leluhur dan nenek moyang. Sejak kapan tradisi itu tercipta?
Ruwah adalah bulan sakral bagi kaum Jawa. Bulan ketujuh dari kalender Jawa yang mulai diberlakukan sejak tahun 1555 Saka atau 1633 Masehi. Angka tahun tersebut merupakan saat pertama kalinya kalenderisasi Hindhu (Saka) dibarengkan dengan kalenderisasi Jawa dan Islam (Hijriyah), oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Maka, banyak momen momen penting dan sakral bagi kaum Jawa yang waktunya hampir bersamaan dengan hari hari besar umat Islam. Mulai dari perayaan tahun baru Islam yang bersamaan dengan tahun baru Jawa, Suro, dan bulan penyucian diri menjelang Ramadhan tiba, Ruwah.
Tetapi sebagai laku budaya spiritual, Ruwahan yang selalu diikuti dengan tradisi Nyadran atau mengirim doa untuk para arwah leluhur dan nenek moyang, telah ada sejak zaman pra Hindhu dan Islam. Dengan kata lain, Nyadran merupakan budaya asli Jawa. Demikian menurut Suharjendro, BA, Ketua Bebadan Basa Lan Kabudayan Nataharsana (Bebana) Jogjakarta, yang juga pengajar bahasa Jawa program studi pendidikan guru Universitas Sanata Darma Jogjakarta.
Suharjendro juga mengatakan, kini hampir tak mungkin mengungkap tradisi Nyadran sebagaimana aslinya dahulu. Pasalnya, pergesekan budaya dari zaman ke zaman telah sedemikian banyak merubah keasliannya. Paling pokok, menurutnya, adalah tata cara doanya. Seperti diketahui, kaum asli Jawa memiliki tata cara doa yang berbeda. “Namun, tetap saja doa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Esa”, ujarnya saat ditemui di kediamannya. Nyadran, menurutnya, merupakan tradisi asli Jawa yang berakar dari upacara Srada. Artinya menghormati arwah leluhur. Di zaman Majapahit-Hindhu, Srada dilakukan di candi candi karena di sanalah abu jenazah para leluhur disimpan dalam sebuah cupu. “Peran winasis para Wali penyebar agama Islam membuat upacara Srada itu lalu secara halus dan dari zaman ke zaman berubah tata caranya menjadi seperti sekarang”, terangnya, seraya menyambung, tak ada pranata baku terkait Nyadran itu. Sekalipun ada, sambungnya, tak mungkin bisa diterapkan karena keberagaman budaya di masing-masing tempat.
Uba Rampe Wajib
Meski tak ada tata cara baku, Nyadran mensyaratkan sejumlah uba rampe sesaji yang mutlak harus ada. Uba rampe itu adalah apem, ketan dan kolak. Tiga sesaji ini sering dimaknai secara Islami dengan menghubungkannya dengan bahasa Arab. Apem lalu diyakini berasal dari kata Afuan yang berarti ampunan. Ketan dari kata khoto’an yang berarti putih dan suci. Sedangkan kolak dari kata kholaqo yang berarti Sang Pencipta. Ketiga sesaji itu lalu dimaknai sebagai simbol ingat Tuhan dan memohon ampunan supaya bersih dari dosa, yang dilakukan secara khusus dalam sebuah ritual (Nyadran) menjelang datangnya bulan puasa.
Kaum Jawa sendiri mengartikan kolak sebagai ojo ditolak. Artinya, segala permohonan semoga jangan sampai ditolak. Ketan diartikan raket atau rekat, yang mengandung makna agar doa kawulo menyatu atau manunggal dengan Gusti. Di beberapa tempat di Jawa, tiga sesaji pokok itu ditambah dengan tumpeng dan nasi gurih beserta lauk berupa ingkung ayam. Nasi gurih merupakan lambang anugerah Tuhan yang selalu terasa gurih atau nikmat. Demikian terang Gito Utomo (58), juru kunci dan rois makam Kiai Wirodjombo Dono Murah, yang belum lama ini juga menyelenggarakan upacara Nyadran di makam pengawal Sultan HB I tersebut.
Gito menjelaskan, secara pribadi mengirim doa di bulan Ruwah juga dilakukan di makam orangtua masing-masing. Upacara ini disebut nyekar. Dari kata sekar yang berarti bunga. Ada pun Nyadran, merupakan upacara mengirim doa dalam skala besar, melibatkan orang sekampung atau sekelompok masyarakat yang mempercayai adanya makam pepundhen. “Karena itu, Nyadran seringkali digelar di makam makam pepundhen dusun dan waktunya telah ditetapkan. Di dusun kami, Nyadran diselenggarakan di makam Kiai Wirodjombo”, jelasnya.
Ruwah adalah bulan sakral bagi kaum Jawa. Bulan ketujuh dari kalender Jawa yang mulai diberlakukan sejak tahun 1555 Saka atau 1633 Masehi. Angka tahun tersebut merupakan saat pertama kalinya kalenderisasi Hindhu (Saka) dibarengkan dengan kalenderisasi Jawa dan Islam (Hijriyah), oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Maka, banyak momen momen penting dan sakral bagi kaum Jawa yang waktunya hampir bersamaan dengan hari hari besar umat Islam. Mulai dari perayaan tahun baru Islam yang bersamaan dengan tahun baru Jawa, Suro, dan bulan penyucian diri menjelang Ramadhan tiba, Ruwah.
Tetapi sebagai laku budaya spiritual, Ruwahan yang selalu diikuti dengan tradisi Nyadran atau mengirim doa untuk para arwah leluhur dan nenek moyang, telah ada sejak zaman pra Hindhu dan Islam. Dengan kata lain, Nyadran merupakan budaya asli Jawa. Demikian menurut Suharjendro, BA, Ketua Bebadan Basa Lan Kabudayan Nataharsana (Bebana) Jogjakarta, yang juga pengajar bahasa Jawa program studi pendidikan guru Universitas Sanata Darma Jogjakarta.
Suharjendro juga mengatakan, kini hampir tak mungkin mengungkap tradisi Nyadran sebagaimana aslinya dahulu. Pasalnya, pergesekan budaya dari zaman ke zaman telah sedemikian banyak merubah keasliannya. Paling pokok, menurutnya, adalah tata cara doanya. Seperti diketahui, kaum asli Jawa memiliki tata cara doa yang berbeda. “Namun, tetap saja doa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Esa”, ujarnya saat ditemui di kediamannya. Nyadran, menurutnya, merupakan tradisi asli Jawa yang berakar dari upacara Srada. Artinya menghormati arwah leluhur. Di zaman Majapahit-Hindhu, Srada dilakukan di candi candi karena di sanalah abu jenazah para leluhur disimpan dalam sebuah cupu. “Peran winasis para Wali penyebar agama Islam membuat upacara Srada itu lalu secara halus dan dari zaman ke zaman berubah tata caranya menjadi seperti sekarang”, terangnya, seraya menyambung, tak ada pranata baku terkait Nyadran itu. Sekalipun ada, sambungnya, tak mungkin bisa diterapkan karena keberagaman budaya di masing-masing tempat.
Uba Rampe Wajib
Meski tak ada tata cara baku, Nyadran mensyaratkan sejumlah uba rampe sesaji yang mutlak harus ada. Uba rampe itu adalah apem, ketan dan kolak. Tiga sesaji ini sering dimaknai secara Islami dengan menghubungkannya dengan bahasa Arab. Apem lalu diyakini berasal dari kata Afuan yang berarti ampunan. Ketan dari kata khoto’an yang berarti putih dan suci. Sedangkan kolak dari kata kholaqo yang berarti Sang Pencipta. Ketiga sesaji itu lalu dimaknai sebagai simbol ingat Tuhan dan memohon ampunan supaya bersih dari dosa, yang dilakukan secara khusus dalam sebuah ritual (Nyadran) menjelang datangnya bulan puasa.
Kaum Jawa sendiri mengartikan kolak sebagai ojo ditolak. Artinya, segala permohonan semoga jangan sampai ditolak. Ketan diartikan raket atau rekat, yang mengandung makna agar doa kawulo menyatu atau manunggal dengan Gusti. Di beberapa tempat di Jawa, tiga sesaji pokok itu ditambah dengan tumpeng dan nasi gurih beserta lauk berupa ingkung ayam. Nasi gurih merupakan lambang anugerah Tuhan yang selalu terasa gurih atau nikmat. Demikian terang Gito Utomo (58), juru kunci dan rois makam Kiai Wirodjombo Dono Murah, yang belum lama ini juga menyelenggarakan upacara Nyadran di makam pengawal Sultan HB I tersebut.
Gito menjelaskan, secara pribadi mengirim doa di bulan Ruwah juga dilakukan di makam orangtua masing-masing. Upacara ini disebut nyekar. Dari kata sekar yang berarti bunga. Ada pun Nyadran, merupakan upacara mengirim doa dalam skala besar, melibatkan orang sekampung atau sekelompok masyarakat yang mempercayai adanya makam pepundhen. “Karena itu, Nyadran seringkali digelar di makam makam pepundhen dusun dan waktunya telah ditetapkan. Di dusun kami, Nyadran diselenggarakan di makam Kiai Wirodjombo”, jelasnya.
Kiai Wirodjombo Dono Murah, menurut Gito, adalah pepundhen dan cikal bakal dusun Gancahan, kelurahan Sidomulyo, kecamatan Godean, kabupaten Sleman, Jogjakarta. Nyadran dilakukan untuk mengirimkan doa bagi Kiai Wirodjombo yang telah berjasa menggubak dusun itu dan sekaligus menjadi pengayomnya. Di makam itu, Nyadran dilangsungkan pada Kamis Legi dihadiri oleh sejumlah perangkat desa, dan kali ini dihadiri pula oleh Wakil Bupati Sleman, Drs. H Sri Purnomo.
Diambil dari Blognya Koko TS
0 komentar:
Posting Komentar