BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

22 Juni 2009

Pak Rimin Episode-1


Rumah berstruktur Kayu


Suasana dalam rumah









Tanah kelahiran Pak Rimin

72 tahun yang lalu tepatnya di tahun 1937, di kawasan pegunungan wonogiri di sebuah desa terpencil dan terisolir yang bernama desa Taunan Kel. Sambirejo Kec. Jatisrono Kabupaten Wonogiri Prop. Jawa Tengah, terlahir seorang anak laki-laki dari pasangan Bapak Karso Niti alias Dasiman & Ibu Surip. Jabang bayi kecil yang mungil terlahir di sebuah amben bambu beralaskan tikar, ditangan seorang dukun beranak dari desa setempat. Bayi itu lahir normal dan sempurna tanpa ada cacat cela, lalu oleh Ibu Surip bayi itu diberi nama Rimin. Rimin dilahirkan pada saat ada peristiwa besar yang sedang terjadi di negeri Belanda. Saat itu ada acara pernikahan Putri Ratu Belanda yang bernama Ratu Yuliana dengan Pangeran Philip……. Dimana pernikahan itu dirayakan secara besar-besaran, di Belanda, namun gaungnya sampai ke seluruh pelosok tanah air jajahan Belanda. Karena mereka mewajibkan warga untuk memasang umbul-umbul di seluruh desa. Saat itu Pak Karso Niti tidak tahu tanggal dan bulan lahir anak2nya karena mereka berpatokan pada penanggalan Jawa. Bahkan baru akhir-akhir ini Pak Rimin tahu tanggal lahir yang sebenarnya. Setelah susah payah Browsing di Internet, diketahui beberapa artikel tentang peristiwa besar itu, dimana Ratu Yuliana melangsungkan pernikahan dengan Pangeran Philip, dan tanggal keramat itu jatuh pada 7 Januari 1937.
Upacara selamatan segera dipersiapkan, kakak-kakaknya Rimin turut sibuk membantu mempersiapkan acara nan sakral itu, tak dapat dibohongi pancaran kebahagiaan terlihat di wajah mereka . . . . dari rona wajah mereka, dari senyum dan binar mata kakak2 Rimin dapat dimaklumi, saat-saat yang mereka nanti-nantikan selama ini telah tiba. Mereka adalah Sukarno, Rakem, Ridi dan Riman. Tanpa dikomandoi mereka langsung hanyut dalam kesibukan masing-masing, Sukarno segera pergi ke dapur mengambil Arit kesayangannya lalu pergi ke Kebon belakang rumah untuk memetik Buah Kelapa. Rakem setia menemani dan memijiti kaki ibunya yang masih kelelahan karena habis berjuang melawan maut demi melahirkan si Jabang Bayi. Ridi mengajak adiknya Riman ke kandang ayam samping rumah untuk memotong beberapa ekor ayam kesayangannya, padahal ayam-ayam itu telah berbulan-bulan mereka rawat dan pelihara, namun demi adek tersayang, mereka relakan ayamnya disembelih untuk acara selamatan nanti malam.
Pak Ridi

Pak Karso Niti yang mempunyai nama kecil Dasiman, bergegas berangkat ke Sendang Bolang untuk mencuci ari-ari sang jabang bayi, ari-ari itu ia cuci sampai bersih, lalu ia kembali segera kembali ke rumah. Di tengah jalan, Pak Karso Niti sempat mampir ke warung untuk membeli kuali, bunga dan ubo rampe untuk persyaratan mengubur ari-ari.Sementara beberapa orang kerabat, tanpa disuruh, berinisiatif mulai membersihkan rumah, dan halaman.

Walau amat sangat sederhana, acara selamatan dipersiapkan dengan biak, para tetangga, kerabat yang dari sore sudah mulai berkumpul, seperti tak sabar menunggu acara untuk segera dimulai, namun sang tokoh sesepuh belum juga datang. Suasana begitu akrab, baik laki-laki maupun perempuan mereka mengisap rokok lintingan sambil berbincang-bincang. Nah Itu dia pak Kyai datang . . . . teriak salah seorang kerabat. Pak Karso Niti segera berdiri dan bergegas berlari menuju ke ujung gang untuk menjemput Pria Tua Jenggotan berpakaian serba hitam untuk dipapah menuju ke dalam rumah. Maklum Mbah Kromo sudah lanjut usia, jalannya saja sudah susah, sehingga harus dibantu dengan sebuah tongkat. Namun beliau masih eksis untuk melayani warga kampung itu untuk memimpin memanjatkan Doa kepada Sang Pencipta. Bau dupa dan kemenyang semerbak melingkupi perhelatan sederhana itu hingga pada usainya.

Waktu terus berjalan dan hari terus berganti, Rimin semakin tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat dan kuat. Saat itu kehidupan Pak Karso Niti sangat sederhana, sehari-hari mereka hanya makan Thiwul dan Gaplek. Padi yang mereka tanam selama berbulan-bulan tidak dapat mereka nikmati, karena saat itu masih dalam penjajahan Belanda. Sehingga hasil bumi berupa Beras disetorkan kepada para Kompeni. Sungguh Ironi hasil bumi yang sangat berlimpah tidak dapat mereka nikmati, hanya Sepe ( baca Singkong ) yang mereka makan sehari-hari. Bisa dibayangkan kesengsaraan kehidupan insan manusia pada saat itu. Penjajahan itu sangat menyengsarakan kehidupan seluruh bumi pertiwi.

Dari kecil Rimin sudah diajar hidup sederhana dan membantu orang tua. Rimin belajar mencangkul dari kakak-kakanya, bahkan Kak. Ridi mengajari Rimin belajar menenun dengan bahan dasar serat daun nanas yang dikeringkan. Jari jemari Rimin yang lincah cepat sekali belajar mengendalikan alat tenun yang begitu sederhana. Oleh ibunda tercinta, kain hasil tenunan tersebut disulam menjadi baju dan celana untuk dipakai sehari-hari. Dari hasil mencangkul dan memenun ini Rimin mulai menghasilkan uang walaupun beberapa sen yang ia berikan kepada ibunda tercinta. Hal ini ia lalukan setiap hari tanpa mengenal lelah dan putus asa ia rela bekerja untuk membantu orang tua tercinta. Begitulah gambaran sebagian besar keluarga di desa itu, sehingga banyak anak-anak di kampung itu yang tidak mengenal bangku sekolah. Salah satu diantaranya adalah Rimin . . . hinggá umur 12 tahun dia tidak mengenal bangku sekolahan. Padahal beberapa anak seumuran dia harusnya sudah mengenal bangku sekolahan. Tiap hari ia memendam keinginannya itu dalam lubuk hatinya.

Kasno teman main Rimin setiap pagi berangkat sekolah melewati sawah yang dikerjakan oleh Rimin, ia sering ngeledekin Rimin yang sedang asyik mencangkul “ Min koe arep dadi opo, kok gaweanmu mung macul wae, mbok sekolah ben pinter koyo aku “. Sedih, pedih dan pilu hati Rimin mendengar hal itu, sambil mencangkul ia merenung dan berdoa “ Tuhan saya ingin sekolah seperti teman-temanku”. Hingga suatu saat ia memberanikan diri bertanya kepada Bapaknya “ Pak . . . Rimin pingin sekolah kayak si Kasno”. Mendengar keluh kesah anaknya Pak Karso mulai berfikir . . . . namun saat itu Pak Karso hanya diam dan tidak memberikan jawaban apa-apa.

Sore itu Rimin begitu letih, sepulang dari mencangkul. Ia bergegas ke dapur untuk mengambil air minum, di meja telah tersedia thiwul yang disediakan oleh Ibu, tanpa basa basi lagi dia langsung menyantap thiwul itu dengan lahapnya, nyam2 . . dari kejauhan Pak. Karso memperhatikan anaknya yang lagi asyik menyantap Thiwul, lalu ia menghampiri Rimin dan berkata . . . Le . . . besok kamu ikut bapak, ndaftar sekolah ya . . . . . . mendengar perkataan Bapak, Rimin langsung terdiam seperti patung . . . entah apa yang dipikirkannya . . . . Rimin . . . . suara Bapak mengagetkannya hingga Thiwul yang dipegangnya terjatuh ke lantai tanah . . . . Matanya berkaca-kaca, mulutnya bergetar seolah mau bicara sesuatu. . . . Perasaannya bingung, senang, sedih becampur aduk jadi satu . . . akhirnya Rimin terduduk di tanah dan sungkem kepada Bapak . . . Matur Sembah Nuwun Njih Pak !!!!!

Malam itu serasa berjalan begitu lambat, Rimin tidak bisa tidur, tak sabar rasanya menunggu datangnya pagi. Ia berusaha keras memejamkan matanya supaya bisa tidur, bantal sudah puluhan kali dibolak balik agar bisa tidur . . . . namun usahanya sia-sia . . . . pikirannya terlalu jauh melayang kemana-mana. Sesekali tangannya menepuk Jingklong ( baca Nyamuk ) yang sesekali menghinggapi tubuh Rimin. Akhirnya kira-kira pukul 02.00 dia tertidur pulas.

Le . . . bangun . . . ayo kita siap-siap ke sekolahan . . . . Tanpa berpikir panjang Rimin segera bangun dan menuju ke mBelik untuk mandi. Ia bersihkan seluruh badan dengan menggunakan sabut kelapa, sangat dimaklumi karena waktu itu belum beredar sabun mandi. Segera ia kenakan pakaian terbaiknya yang terbuat dari kain gandum hasil jahitan ibundanya tercinta, sedangkan celana yang dikenakannya adalah hasil karya dia sendiri yang berasal dari tenunan serat daun nanas. Setelah siap, Bapak dan Rimin segera berangkat menuju ke Sekolahan. Sekolahan yang dituju adalah SD Krandegan yang jaraknya sekitar 5 km, mereka berjalan tanpa alas kaki menyusuri jalan setapak, pematang, serta lereng perbukitan.

Sampai di sekolahan, bapak langsung menemui salah seorang pegawai yang kebetulan sedang duduk di bawah pohon sambil merokok. Nuwun sewu pak, kula badhe tanglet, ten mriki menopo taksih nampi murid sekolah ?? dan orang itu menjawab, Leres pak, sakmenika sekolahan mriki taksih kekirangan murid. Monggo kula derekaken mlembet ten sekolahan . . . Akhirnya Bapak dan Rimin mengikuti orang tersebut dan ditemukan ke bagian penerimaan siswa. Proses penerimaan tidak sulit yang penting ada kemauan untuk belajar. Berhubung saat itu umur Rimin sudah 13 tahun, maka Rimin dianjurkan untuk langsung masuk di Kelas 2 SD. Betapa bahagianya hati Rimin saat itu, akhirnya hal yang selama ini dia impikan terwujud. Terima Kasih Tuhan akhirnya aku bisa sekolah.

Siang itu kira-kira pertengahan tahun 1950, Rimin langsung disuruh mengikuti pelajaran, karena dia tidak membawa alat tulis, Guru tersebut meminjamkan alat tulis berupa Sabak (semacam papan yang terbuat dari batu) untuk menulis, ini untuk pertama kalinya Rimin memegang Sabak kemudian dia masuk kelas dan menerima pelajaran pertama. Rupanya Rimin termasuk anak yang cerdas, dengan cepat dia bisa menyesuaikan situasi dan menerima pelajaran yang diberikan oleh Guru.


Sementara Rimin menyelesaikan pelajarannya, Bapak menunggu diluar sambil Membuka bekal berupa rokok lintingan. Klepus . . . klepus . . . asap putih berbau tembakau dan kemenyan segera tercium di radius 20 meter. Hingga selesai pelajaran, Bapak sudah menghabiskan 8 linting rokok. Akhirnya mereka pulang ke rumah dengan penuh rasa suka cita.

Rimin mulai mempunyai rutinitas baru, yakni sekolah. Namun ia tidak melupakan kewajibannya untuk membantu Bapak mencari Nafkah. Jam 04.00 Rimin sudah bangun langsung menuju ke sawah untuk mencangkul. Acara mencangkul dari jam 04.00 sampai pukul 05.30 setelah itu Rimin bergegas pulang untuk mandi dan siap-siap berangkat ke sekolah. Tidak setiap hari Thiwul tersedia di meja makan. Sehingga kadang-kadang bahkan sering Rimin tidak bisa sarapan pagi, hanyalah air putih yang langsung dia minum dari Kendi yang menjadi sarapannya. Namun hal itu tidak melemahkan semangat Rimin untuk bersekolah.


Rimin berangkat sekolah dengan berjalan kaki, maklum waktu itu sepeda masih menjadi barang yang sangat mewah. Jarak yang ditempuh 5 km membuat fisik Rimin semakin terbina, karena selain jalan tanpa alas kaki, dia juga sering berlari menuju ke sekolah. Rutinitas mencangkul dan Berlari menuju ke sekolah ini yang menempa Rimin menjadi sosok yang kuat.

Setelah naik ke bangku kelas 4, Rimin pindah sekolah di SD Gunung Sari, jaraknya lebih jauh dari SD Krandegan yakni 8 km. Masih dengan rutinitas mencangkul dan berlari setiap hari ia selalu lakukan. Akhirnya di tahun 1955 Rimin lulus dari SD. Setelah lulus SD Rimin mendaftar di STN ( Setingkat SMP) di Jati Srono yang jaraknya lebih jauh lagi, yakni 10 km . . . ck ck ck . . . .

Berarti setiap hari Rimin harus berjalan/berlari 20 km (PP) tanpa alas kaki??? Oh My God !!!! Sejenak saya ( penulis ) membayangkan dan mencoba ikut merasakan penderitaan / kesengsaraan yang dialami oleh Rimin Remaja . . . . . Yaa. . . . memang sangat berat perjuangan Sang Rimin untuk bisa bersekolah. Beda dengan orang jaman sekarang, betapa mudahnya mendapatkan sekolah, namun males untuk belajar.

Kembali ke Laptop . . . . Singkat cerita Rimin menyelesaikan pendidikan STN pada tahun 1958, berarti umurnya saat itu 21 tahun. Setelah lulus, Rimin belum juga mendapatkan pekerjaan, sehingga dia memutuskan untuk ikut kakaknya Kang Ridi pergi ke Semarang untuk bekerja serabutan. Di Semarang Ridi dan Rimin bekerja pada seorang Juragan China disuruh mencangkul kebun miliknya untuk ditanami pohon singkong dan pisang. Uang hasil bekerja dia simpan dan kumpulkan rencananya untuk diberikan kepada Bapak & Ibu tercinta. Setelah 3 bulan berada di Semarang, Rimin mendapat kabar dari salah seorang kerabat yang kerja di Semarang namun habis pulang dari Wonogiri tentang adanya penerimaan pendaftaran Tentara di Kota Wonogiri. Kang Ridi menyarankan agar Rimin ikut mendaftar karena fisik Rimin yang lumayan bagus dan kuat. Saat itu Rimin belum begitu tertarik, karena baru 3 bulan bekerja di Semarang. Akhirnya Kang Ridi membelikan sebuah Jam Tangan dengan harapan Rimin semangat untuk mengikuti pendaftaran Tentara.

Karena sudah disogok Jam Tangan oleh Kang Ridi, maka mau tidak mau Rimin segera pulang ke Wonogiri. Hari Rimin sangat berbunga-bunga, karena dikasih Jam Tangan yang begitu bagus dan mewah bagi seorang Rimin. Sesampainya di Wonogiri, Rimin segera mendaftarkan diri di Panitia Penerimaan Secatam. Saat mendaftar umur Rimin sudah 22 tahun dan sudah hampir melewati batas maksimal pendaftara, untuk mengatasinya maka umurnya dimudakan 3 tahun, dan mempunyai tanggal lahir baru, yakni 18 Agustus 1940. Tanggal inilah yang kelak ( hingga masa tua ) selalu dirayakan sebagai hari ulang tahun.

Saat itu seleksi yang diutamakan adalah fisik dan mentalnya. Rimin sangat mumpuni di kedua-duanya, karena sudah terbiasa nyeker dan berlari dengan jarak yang sangat jauh. Setelah mengikuti beberapa test, akhirnya Riminpun lolos untuk menjalani pendidikan Secatam di Ridam VII Magelang.
Ada kejadian lucu, dimana peserta yang lolos harus membawa sepatu Cat. Karena Rimin belum punya sepatu, maka dengan berat hari dia jual Jam Tangan pemberian Kang Ridi, hasilnya untuk membeli sepatu Cat. Dan yang lebih lucu lagi . . . ini untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya Rimin punya / pakai Sepatu Wow. Akhirnya Rimin berangkat juga ke Magelang. Dan Kesabaran serta Penderitaan yang selama ini dialami membuahkan hasil yang sangat luar biasa Manisnya.

Berikut Riwayat Pendidikan, karier dan jabatan Pak Rimin :

1. Pada tahun 1959, Pendidikan Secata di Rindam VII Magelang
2. Pada tahun 1960 sekolah Kejuruan Kavaleri di Cibangkong Bandung
3. Selesai Kejuruan, ditempatkan di Yonkav-2/Sersus Magelang sbg anggota regu.
4. Pada tahun 1961, tugas operasi PRRI di Padang
5. Masih tahun 1961, kursus kejuruan di Padalarang
6. Pada tahun 1962, tugas operasi DI/TII Karto Suwiryo
7. Awal tahun 1963, pendikan Secaba di Padalarang
8. Pada tahun 1964, selesai pendidikan kembali ke satuan asal
9. Tahun 1964 – 1968, menjabat sebagai Danran ( Serda – Serka )
10. Tahun 1968 – 1971, menjabat sebagai Sersan Pleton ( Serka – Serma )
11. Tahun 1971 – 1973, menjabat Danton Kom ( Pelda – Peltu )
12. Pada 1 Maret 1973, pindah ke Kodim 0732/Sleman sebaga Ba Ops
13. Pada tahun 1974 – 1977, pindah ke Primkop Kodim 0732/Sleman
14. Pada tahun 1978 – 1979, menjabat Kaprim Koperasi Kodim 0732/Sleman
15. Pada tahun 1979 – 1980, Danramil Godean dengan pangkat Peltu
16. Pada tahun 1980-1981, Pendidikan secapa di Lembang
17. Selesai pendidikan tahun 81 kembali ke Danramil Godena hingga tahun 1986 dengan pangkat terakhir Lettu
18. Tahun 1986 – 1987 , menjabat Danramil Depok Sleman
19. Tahun 1987 – 1989, menjabat Pasiops Kodim Sleman
20. Tahun 1989 – 1991, menjabat Danramil Sleman Kota
21. Tahun 1991 – 1995, menjabat Danramil Godean. Hingga pensiun
tobe continued ya !!!


3 komentar:

Anonim mengatakan...

Makane...nek njaluk ojo sakdeg saknyet!
.....................................
do ra ngerti susahe wong tuwo...hiks!

arinugraha mengatakan...

Betul mas...... kl mengingat kelakuan waktu kecil dulu.... sungguh sangat menyesal.... andai waktu bisa diputar kembali.... aku ingin membahagiakan kedua Orang Tuaku

arinugraha mengatakan...

hadeehh... terima kasih atas infonya bapak.... tp mhn maaf saya kurang berminat untuk hal2 yang demikian