30 Juni 2009
24 Juni 2009
22 Juni 2009
Kecamatan Godean
Godean adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kecamatan Godean berada di sekitar 10 km sebelah Barat daya dari Ibukota Kabupaten Sleman. Lokasi ibu kota kecamatan Godean di Jl. Godean Km.10, Sleman berada di 7.76774‘ LS dan 110.29336‘ BT. Kecamatan Godean mempunyai luas wilayah 2.684 Ha. Bentangan wilayah di Kecamatan Godean berupa tanah yang datar dan sedikit berbukit. Sudah sejak lama Wilayah Godean merupakan pusat ekonomi bagi wilayah Sleman bagian barat. Pasar Godean merupakan salah satu Pasar yang cukup ramai, dan terkenal dengan jajanan peyek belut.
Secara sejarah administrasi pemerintahan, Kecamatan Godean telah mengalami berbagai macam perubahan. Berdasarkan Rijksblad no. 11 tahun 1916, Godean merupakan distrik dibawah wilayah Kabupaten Sleman yang terdiri dari 8 onderdistrik dan 55 kalurahan. Yang kemudian berubah dengan keluarnya Rijksblad no. 1/1927 yang membuat Godean dan semua wilayah Kabupaten Sleman masuk dalam wilayah Kabupaten Yogyakarta. Pada tahun 1940, kembali terjadi perubahan yang membuat Godean kembali masuk dalam wilayah Kabupaten Sleman. Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1942 dengan Jogjakarta Kooti, Godean kemudian menjadi wilayah Kabupaten Bantul dengan status Kawedanan. Pada tanggal 8 April 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua) yang menempatkan wilayah Godean sebagai bagian Kabupaten Sleman dengan status Kapanewon (Son). Meski demikian beberapa wilayah di Godean seperti Sedayu tetap masuk dalam wilayah Kabupaten Bantul.
Diposting oleh arinugraha di 09.30 1 komentar
Silsilah keturunan Mbah Karso Dikromo . . .
a. Rusmiyati (24 Pebruari 1950)
b. (Alm) Rusnaryo
c. Rusyadi (31 Maret 1952) & Suharni (09 April 1959)
1) Dini Damayanti (03 Mei 1982)
2) Danang Adi S (27 September 1985)
d. Rus Winarni (27 Juni 1957) & Radiman (10 Mei 1953)
1) Yeri Eko Munajat (09 April 1977)
2) Miming Kuncoro (05 September 1981)
3) Windu Pramudito (9 Nopember 1984)
e. Rus Winarno (25 Juni 1959) & Warsuti ..
1) Andreas Kuncoro (03 Maret 1988)
2) Winda DwiAnggraini(31 Maret 1995)
f. Rus Winardi (10 Pebruari 1961) & Anastasia Ngadirah
1) Layung indra prasetya
2) Ardi
g. Rus Cahyanto (29 Desember 1962) & Muncaryati
1) Evi mareta
2) Hans Siragajosef
h. Rus SuListiono (10 Mei 1965) & Yeni natalia
1) Betsaida
2) Luky
i. Rus Sulistyaningsih (31 Juli 1967) & Sri Joko Yuono (05 Mei 1968)
1) Yuan Maha Putra (24 Pebruari 1998)
2) Angkoso Jati kusumo (07 Oktober 1999)
j. Rus Endarti (21 September 1969) & Tukijo (23 Maret 1968)
1) Rosi Pabliuka (06 Januari 1995)
2) Kurnia Tejaningrum (22 Juni 1996)
3) Pinastika Tejasari (03 September 2004)
k. Rus Endarto (10 Agustus 1975) & Serly
1) Ivan
2. (Alm ) Bpk. Sudiyono & Ny. Mursiti
a. Muryani & Santoso
1) Vasthi Ardiyani Retnaayu 75
2) Bernadian Satyandaru (10 September 1981)
3) Setyo Budiyanto (05 April 1986)
b. Murdayati & Slamet Sugeng
1) Wahyu Cahya Kusuma
2) Wisnu Chandra Kusuma
c. Subandoko & Tri Atmanti Rahayu
1) Yudha Timur Asnoro Ndoko (21 September 1984)
2) Yuretu Tiara Asmoro Ndoko (15 April 1989)
3) Yureksa Tri Asmoro Ndoko (28 Oktober 1993)
d. Murwanti & Subandiyo
1) Aditya Bawa (12 Juni 1991)
2) WindiAnindita Dewanti (03 Juni 1995)
3. Ibu Wagiyem & Bapak Marto Wiyono
a. Sumardi & Untari
1) Puri & Yanto
2) Sally
3) Veronika
4) Damar & David
a) vino
b. Supartini & Wagiman
1) Ebtaningtyas & Jatmiko
a) Vinensia Anaya Sesaristi
b) Bertha Aryalista Sesaristi
2) Dwi Pratiwi & Heru
a) Yesia Ramadhan
c. Sriyadi & Sukarni
1) Agung feriyadi
2) Daniel Johan kristanto
d. Sugantini & Purwanto (alm)
1) Untung Bandoko
2) Ari Gunawan
e. Sunardi & Dayanti
1) Ari Krustanto
2) Elia Anggraini
f. Gunadi & Rakhap Sulastri
1) Mutiara Nadia Radisa
2) Yeheskiel Feba Radisaputra
h. Supriyanto (Atin) & Hartiti Manulang
1) Andreas Brian Sukoco
4. (Alm) Bpk. Radiyo Dibyo Sutrisno (25 Des 1932) & Ibu. Kasilah 37
a. (Alm) Purwanto & Sumirah
1) Iwan Kris
2) Anreas
3) Atri
4) Ayub
b. (Alm) Dwi Darwanto & Aning Pris Susilowati
1) Pranita Ratnaningrum (17 Mei 1985 )
2) Ratna
c. Triyanto (22 April 1960) & Haryanah (16 Des 1962)
1) Yusak Martin Sutrisno (25 Mei 1984)
2) Yustina Wahyuningsih (16 Feb 1991)
d. Rini Sukesi (April 1962) & Haryanto
1) Ndaru
2) Nana
3) Bimo
4) Amanda
e. Rini Sulistyani (Oktober 1964) & Lilik
1) Aprilia (12 April)
2) Risang (21Juli)
f. Rini Prasetyaningsih (02 Maret 1967) & Sapto
1) Mersia Siahaya (20 Agustus 2002)
g. Rini Astuti Budi Pamungkas (10 Juni 1969) & Widodo
1) Aldi widiyanto (16 Des 1996)
2) Farentio Rangga Widiyanto (17 Sept 2004)
h. Joko Hadi Pangestu (30 Sept 1971 & Endang (29 Nop 1975)
1) Paulus Raditya Pangestu (18 April 1999)
2) Kesia (17 Sept 2001)
5. Bpk. Yahmin (31 Des 1941) & Ibu. Sihmiyati (02 Juli 1951)
a. Minda Yuliajati (31 Juli 1973) & Topan
1) Yosea Nino Sesarega Harimurti (2 Nop 2000)
b. Susilo Dwi Aminarno (1 Oktober 1975) & Rini Puspita Ndari
1) Yeheskiel Aditya Arinarno
2) Tesalonika Dara Arini
c. Kristian Heru mintarjo (25 Nop 1982)
6. (Alm) Ibu Asih Chrismina (08 Agustus 1943) & Bapak Antonius Rimin 37
a. Aris Gunawan (10 Des 1964 ) & Ana Yuliani ( Putra pak Rimin dari ibu
Sarining )
1) Tiara
2) Bonaventura Bayu Wirakencana
3) Angelika Rainha Shaquilathea
b. Nugraheni (17 Nop 1967) & Pendowo Prasetyo Utomo 1962
1) Devina Daratyama Putri (4 Sept 1995)
2) Kesia Kenwangi (8 Oktober 1999)
c. Chandra Mulatsih (16 Agustus 1970) & Sarjono (22 April 1968)
1) Lalita Anggie Ardana Reswari (10 Agustus 2002)
d. Prasetyo Novriyanto (28 Nop 1973) & Christina Puji Hartani (25 Desember 1976)
1) Nindya Larasaty Prasetya (20 Des 1997)
2) Laga Wiratama Prasetya (11 Peb 2006)
e. Wibawa Ari Nugraha (17 Maret 1976) & Retno Dwi Lestari (23 Maret 1980)
1) Stefanie Roselia LN (25 Sept 2000) ( Putri dari pernikahan pertama )
2) Arkaluna Laksmitha Rinola (14 Januari 2008)
7. Ibu. Sawiyem (th. 44 ) & Bpk. Djauji Sujito (10 Juni 1939)
a. Eni Wijandari (19 Nop 1963 ) & Rasmoko (16 Juni 1963)
1) Adistya Maretna Dwiyanto (16 Maret 1988)
2) Wahyu Endra Brahmantya (23 Januari 1991)
b. Etna Wijanarti (7 Januari 1967 & Sudarso (12 Des 1963)
1) Zara Wijanti (14 Juni 1990)
2) Michael Sakrasta (24 Oktober 2005)
c. Tri Wijayanto (21 Des 1970)
1) Gabriel (4 juni 1999)
d. Sasongko Nugroho (28 Juli 1981)
8. Ibu Sutarmi 49 & (Alm) Bpk. Sutaryanto 40
a. Satriyono ( Mei 1968) & Theresia Indra Dewi (06 Mei 1972)
1) Citra Hicari (25 Mei 2000)
2) Satria Dimas Mada Taripura
b. Kusuma Indrastuti (4 Sept 1972) & Veri Dananto 72
1) Oktavia Verda Kusuma (15 Okt 1999)
2) Odisey Firam Kusuma (13 Januari 2008)
c. Kusuma Widianingsih 75 & Suharsih 66
1) Angga Ananda Prasetya 05
d. Prayogo Basuki 76 & Endang Suryani 77
1) Felisia Ambaryani 2004
9. Ibu. Suwarjirah (12 Mei 1951) & Bpk. Pilipus Sampurno (17 Sept 1948)
a. Ari Suminarsih Rahayu (21 Feb 1972) & Sugihartono
1) Okta Haryudita Putri (5 Oktober 1999)
b. Samuel Agus Suminarto (2 Mei 1974) & Eni Suwarni 74
1) Diah Anggraini 1 Juni 1997
2) Diva Respati 2004
c. Imanuel Samudra Nusantara 24 Nop 1994
Demikianlah, keturunan mbah Karso Dikromo yang tercatat per bulan Juni 2009, mohon koreksi apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan, saya menampung artikel apa saja untuk diterbitkan disini, karena generasi yang akan datang, entah kapan ?? Akan sangat bangga dan bahagia mengetahui sejarah para leluhurnya , Sayapun bangga memiliki keluarga besar seperti sekarang ini, . . Karena artikelnya masih sedikit, maka sementara saya terbitkan di Blog saya. Dan kalau diijinkan, saya akan membuat Blog khusus trah Karso Dikromo yang artikelnya berisi cerita dan kegiatan apa saja tentang keluarga masing2 . . . . Dan tujuan blog ini sendiri adalah sebagai sarana komunikasi dan temu kangen para keturunan Mbah Karso Dikromo yang tersebar di seluruh Indonesia, bisa juga sebagai wadah nostalgia apabila tidak sempat datang di acara kumpul Trah yang diadakan setiap bulannya .
Diposting oleh arinugraha di 07.17 4 komentar
Pak Rimin Episode-2
Diposting oleh arinugraha di 07.14 1 komentar
Pak Rimin Episode-1
72 tahun yang lalu tepatnya di tahun 1937, di kawasan pegunungan wonogiri di sebuah desa terpencil dan terisolir yang bernama desa Taunan Kel. Sambirejo Kec. Jatisrono Kabupaten Wonogiri Prop. Jawa Tengah, terlahir seorang anak laki-laki dari pasangan Bapak Karso Niti alias Dasiman & Ibu Surip. Jabang bayi kecil yang mungil terlahir di sebuah amben bambu beralaskan tikar, ditangan seorang dukun beranak dari desa setempat. Bayi itu lahir normal dan sempurna tanpa ada cacat cela, lalu oleh Ibu Surip bayi itu diberi nama Rimin. Rimin dilahirkan pada saat ada peristiwa besar yang sedang terjadi di negeri Belanda. Saat itu ada acara pernikahan Putri Ratu Belanda yang bernama Ratu Yuliana dengan Pangeran Philip……. Dimana pernikahan itu dirayakan secara besar-besaran, di Belanda, namun gaungnya sampai ke seluruh pelosok tanah air jajahan Belanda. Karena mereka mewajibkan warga untuk memasang umbul-umbul di seluruh desa. Saat itu Pak Karso Niti tidak tahu tanggal dan bulan lahir anak2nya karena mereka berpatokan pada penanggalan Jawa. Bahkan baru akhir-akhir ini Pak Rimin tahu tanggal lahir yang sebenarnya. Setelah susah payah Browsing di Internet, diketahui beberapa artikel tentang peristiwa besar itu, dimana Ratu Yuliana melangsungkan pernikahan dengan Pangeran Philip, dan tanggal keramat itu jatuh pada 7 Januari 1937.
Pak Karso Niti yang mempunyai nama kecil Dasiman, bergegas berangkat ke Sendang Bolang untuk mencuci ari-ari sang jabang bayi, ari-ari itu ia cuci sampai bersih, lalu ia kembali segera kembali ke rumah. Di tengah jalan, Pak Karso Niti sempat mampir ke warung untuk membeli kuali, bunga dan ubo rampe untuk persyaratan mengubur ari-ari.Sementara beberapa orang kerabat, tanpa disuruh, berinisiatif mulai membersihkan rumah, dan halaman.
Walau amat sangat sederhana, acara selamatan dipersiapkan dengan biak, para tetangga, kerabat yang dari sore sudah mulai berkumpul, seperti tak sabar menunggu acara untuk segera dimulai, namun sang tokoh sesepuh belum juga datang. Suasana begitu akrab, baik laki-laki maupun perempuan mereka mengisap rokok lintingan sambil berbincang-bincang. Nah Itu dia pak Kyai datang . . . . teriak salah seorang kerabat. Pak Karso Niti segera berdiri dan bergegas berlari menuju ke ujung gang untuk menjemput Pria Tua Jenggotan berpakaian serba hitam untuk dipapah menuju ke dalam rumah. Maklum Mbah Kromo sudah lanjut usia, jalannya saja sudah susah, sehingga harus dibantu dengan sebuah tongkat. Namun beliau masih eksis untuk melayani warga kampung itu untuk memimpin memanjatkan Doa kepada Sang Pencipta. Bau dupa dan kemenyang semerbak melingkupi perhelatan sederhana itu hingga pada usainya.
Waktu terus berjalan dan hari terus berganti, Rimin semakin tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat dan kuat. Saat itu kehidupan Pak Karso Niti sangat sederhana, sehari-hari mereka hanya makan Thiwul dan Gaplek. Padi yang mereka tanam selama berbulan-bulan tidak dapat mereka nikmati, karena saat itu masih dalam penjajahan Belanda. Sehingga hasil bumi berupa Beras disetorkan kepada para Kompeni. Sungguh Ironi hasil bumi yang sangat berlimpah tidak dapat mereka nikmati, hanya Sepe ( baca Singkong ) yang mereka makan sehari-hari. Bisa dibayangkan kesengsaraan kehidupan insan manusia pada saat itu. Penjajahan itu sangat menyengsarakan kehidupan seluruh bumi pertiwi.
Dari kecil Rimin sudah diajar hidup sederhana dan membantu orang tua. Rimin belajar mencangkul dari kakak-kakanya, bahkan Kak. Ridi mengajari Rimin belajar menenun dengan bahan dasar serat daun nanas yang dikeringkan. Jari jemari Rimin yang lincah cepat sekali belajar mengendalikan alat tenun yang begitu sederhana. Oleh ibunda tercinta, kain hasil tenunan tersebut disulam menjadi baju dan celana untuk dipakai sehari-hari. Dari hasil mencangkul dan memenun ini Rimin mulai menghasilkan uang walaupun beberapa sen yang ia berikan kepada ibunda tercinta. Hal ini ia lalukan setiap hari tanpa mengenal lelah dan putus asa ia rela bekerja untuk membantu orang tua tercinta. Begitulah gambaran sebagian besar keluarga di desa itu, sehingga banyak anak-anak di kampung itu yang tidak mengenal bangku sekolah. Salah satu diantaranya adalah Rimin . . . hinggá umur 12 tahun dia tidak mengenal bangku sekolahan. Padahal beberapa anak seumuran dia harusnya sudah mengenal bangku sekolahan. Tiap hari ia memendam keinginannya itu dalam lubuk hatinya.
Kasno teman main Rimin setiap pagi berangkat sekolah melewati sawah yang dikerjakan oleh Rimin, ia sering ngeledekin Rimin yang sedang asyik mencangkul “ Min koe arep dadi opo, kok gaweanmu mung macul wae, mbok sekolah ben pinter koyo aku “. Sedih, pedih dan pilu hati Rimin mendengar hal itu, sambil mencangkul ia merenung dan berdoa “ Tuhan saya ingin sekolah seperti teman-temanku”. Hingga suatu saat ia memberanikan diri bertanya kepada Bapaknya “ Pak . . . Rimin pingin sekolah kayak si Kasno”. Mendengar keluh kesah anaknya Pak Karso mulai berfikir . . . . namun saat itu Pak Karso hanya diam dan tidak memberikan jawaban apa-apa.
Sore itu Rimin begitu letih, sepulang dari mencangkul. Ia bergegas ke dapur untuk mengambil air minum, di meja telah tersedia thiwul yang disediakan oleh Ibu, tanpa basa basi lagi dia langsung menyantap thiwul itu dengan lahapnya, nyam2 . . dari kejauhan Pak. Karso memperhatikan anaknya yang lagi asyik menyantap Thiwul, lalu ia menghampiri Rimin dan berkata . . . Le . . . besok kamu ikut bapak, ndaftar sekolah ya . . . . . . mendengar perkataan Bapak, Rimin langsung terdiam seperti patung . . . entah apa yang dipikirkannya . . . . Rimin . . . . suara Bapak mengagetkannya hingga Thiwul yang dipegangnya terjatuh ke lantai tanah . . . . Matanya berkaca-kaca, mulutnya bergetar seolah mau bicara sesuatu. . . . Perasaannya bingung, senang, sedih becampur aduk jadi satu . . . akhirnya Rimin terduduk di tanah dan sungkem kepada Bapak . . . Matur Sembah Nuwun Njih Pak !!!!!
Malam itu serasa berjalan begitu lambat, Rimin tidak bisa tidur, tak sabar rasanya menunggu datangnya pagi. Ia berusaha keras memejamkan matanya supaya bisa tidur, bantal sudah puluhan kali dibolak balik agar bisa tidur . . . . namun usahanya sia-sia . . . . pikirannya terlalu jauh melayang kemana-mana. Sesekali tangannya menepuk Jingklong ( baca Nyamuk ) yang sesekali menghinggapi tubuh Rimin. Akhirnya kira-kira pukul 02.00 dia tertidur pulas.
Le . . . bangun . . . ayo kita siap-siap ke sekolahan . . . . Tanpa berpikir panjang Rimin segera bangun dan menuju ke mBelik untuk mandi. Ia bersihkan seluruh badan dengan menggunakan sabut kelapa, sangat dimaklumi karena waktu itu belum beredar sabun mandi. Segera ia kenakan pakaian terbaiknya yang terbuat dari kain gandum hasil jahitan ibundanya tercinta, sedangkan celana yang dikenakannya adalah hasil karya dia sendiri yang berasal dari tenunan serat daun nanas. Setelah siap, Bapak dan Rimin segera berangkat menuju ke Sekolahan. Sekolahan yang dituju adalah SD Krandegan yang jaraknya sekitar 5 km, mereka berjalan tanpa alas kaki menyusuri jalan setapak, pematang, serta lereng perbukitan.
Sampai di sekolahan, bapak langsung menemui salah seorang pegawai yang kebetulan sedang duduk di bawah pohon sambil merokok. Nuwun sewu pak, kula badhe tanglet, ten mriki menopo taksih nampi murid sekolah ?? dan orang itu menjawab, Leres pak, sakmenika sekolahan mriki taksih kekirangan murid. Monggo kula derekaken mlembet ten sekolahan . . . Akhirnya Bapak dan Rimin mengikuti orang tersebut dan ditemukan ke bagian penerimaan siswa. Proses penerimaan tidak sulit yang penting ada kemauan untuk belajar. Berhubung saat itu umur Rimin sudah 13 tahun, maka Rimin dianjurkan untuk langsung masuk di Kelas 2 SD. Betapa bahagianya hati Rimin saat itu, akhirnya hal yang selama ini dia impikan terwujud. Terima Kasih Tuhan akhirnya aku bisa sekolah.
Siang itu kira-kira pertengahan tahun 1950, Rimin langsung disuruh mengikuti pelajaran, karena dia tidak membawa alat tulis, Guru tersebut meminjamkan alat tulis berupa Sabak (semacam papan yang terbuat dari batu) untuk menulis, ini untuk pertama kalinya Rimin memegang Sabak kemudian dia masuk kelas dan menerima pelajaran pertama. Rupanya Rimin termasuk anak yang cerdas, dengan cepat dia bisa menyesuaikan situasi dan menerima pelajaran yang diberikan oleh Guru.
Sementara Rimin menyelesaikan pelajarannya, Bapak menunggu diluar sambil Membuka bekal berupa rokok lintingan. Klepus . . . klepus . . . asap putih berbau tembakau dan kemenyan segera tercium di radius 20 meter. Hingga selesai pelajaran, Bapak sudah menghabiskan 8 linting rokok. Akhirnya mereka pulang ke rumah dengan penuh rasa suka cita.
Rimin mulai mempunyai rutinitas baru, yakni sekolah. Namun ia tidak melupakan kewajibannya untuk membantu Bapak mencari Nafkah. Jam 04.00 Rimin sudah bangun langsung menuju ke sawah untuk mencangkul. Acara mencangkul dari jam 04.00 sampai pukul 05.30 setelah itu Rimin bergegas pulang untuk mandi dan siap-siap berangkat ke sekolah. Tidak setiap hari Thiwul tersedia di meja makan. Sehingga kadang-kadang bahkan sering Rimin tidak bisa sarapan pagi, hanyalah air putih yang langsung dia minum dari Kendi yang menjadi sarapannya. Namun hal itu tidak melemahkan semangat Rimin untuk bersekolah.
Rimin berangkat sekolah dengan berjalan kaki, maklum waktu itu sepeda masih menjadi barang yang sangat mewah. Jarak yang ditempuh 5 km membuat fisik Rimin semakin terbina, karena selain jalan tanpa alas kaki, dia juga sering berlari menuju ke sekolah. Rutinitas mencangkul dan Berlari menuju ke sekolah ini yang menempa Rimin menjadi sosok yang kuat.
Setelah naik ke bangku kelas 4, Rimin pindah sekolah di SD Gunung Sari, jaraknya lebih jauh dari SD Krandegan yakni 8 km. Masih dengan rutinitas mencangkul dan berlari setiap hari ia selalu lakukan. Akhirnya di tahun 1955 Rimin lulus dari SD. Setelah lulus SD Rimin mendaftar di STN ( Setingkat SMP) di Jati Srono yang jaraknya lebih jauh lagi, yakni 10 km . . . ck ck ck . . . .
Berarti setiap hari Rimin harus berjalan/berlari 20 km (PP) tanpa alas kaki??? Oh My God !!!! Sejenak saya ( penulis ) membayangkan dan mencoba ikut merasakan penderitaan / kesengsaraan yang dialami oleh Rimin Remaja . . . . . Yaa. . . . memang sangat berat perjuangan Sang Rimin untuk bisa bersekolah. Beda dengan orang jaman sekarang, betapa mudahnya mendapatkan sekolah, namun males untuk belajar.
Kembali ke Laptop . . . . Singkat cerita Rimin menyelesaikan pendidikan STN pada tahun 1958, berarti umurnya saat itu 21 tahun. Setelah lulus, Rimin belum juga mendapatkan pekerjaan, sehingga dia memutuskan untuk ikut kakaknya Kang Ridi pergi ke Semarang untuk bekerja serabutan. Di Semarang Ridi dan Rimin bekerja pada seorang Juragan China disuruh mencangkul kebun miliknya untuk ditanami pohon singkong dan pisang. Uang hasil bekerja dia simpan dan kumpulkan rencananya untuk diberikan kepada Bapak & Ibu tercinta. Setelah 3 bulan berada di Semarang, Rimin mendapat kabar dari salah seorang kerabat yang kerja di Semarang namun habis pulang dari Wonogiri tentang adanya penerimaan pendaftaran Tentara di Kota Wonogiri. Kang Ridi menyarankan agar Rimin ikut mendaftar karena fisik Rimin yang lumayan bagus dan kuat. Saat itu Rimin belum begitu tertarik, karena baru 3 bulan bekerja di Semarang. Akhirnya Kang Ridi membelikan sebuah Jam Tangan dengan harapan Rimin semangat untuk mengikuti pendaftaran Tentara.
Karena sudah disogok Jam Tangan oleh Kang Ridi, maka mau tidak mau Rimin segera pulang ke Wonogiri. Hari Rimin sangat berbunga-bunga, karena dikasih Jam Tangan yang begitu bagus dan mewah bagi seorang Rimin. Sesampainya di Wonogiri, Rimin segera mendaftarkan diri di Panitia Penerimaan Secatam. Saat mendaftar umur Rimin sudah 22 tahun dan sudah hampir melewati batas maksimal pendaftara, untuk mengatasinya maka umurnya dimudakan 3 tahun, dan mempunyai tanggal lahir baru, yakni 18 Agustus 1940. Tanggal inilah yang kelak ( hingga masa tua ) selalu dirayakan sebagai hari ulang tahun.
Saat itu seleksi yang diutamakan adalah fisik dan mentalnya. Rimin sangat mumpuni di kedua-duanya, karena sudah terbiasa nyeker dan berlari dengan jarak yang sangat jauh. Setelah mengikuti beberapa test, akhirnya Riminpun lolos untuk menjalani pendidikan Secatam di Ridam VII Magelang.
Ada kejadian lucu, dimana peserta yang lolos harus membawa sepatu Cat. Karena Rimin belum punya sepatu, maka dengan berat hari dia jual Jam Tangan pemberian Kang Ridi, hasilnya untuk membeli sepatu Cat. Dan yang lebih lucu lagi . . . ini untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya Rimin punya / pakai Sepatu Wow. Akhirnya Rimin berangkat juga ke Magelang. Dan Kesabaran serta Penderitaan yang selama ini dialami membuahkan hasil yang sangat luar biasa Manisnya.
Berikut Riwayat Pendidikan, karier dan jabatan Pak Rimin :
1. Pada tahun 1959, Pendidikan Secata di Rindam VII Magelang
2. Pada tahun 1960 sekolah Kejuruan Kavaleri di Cibangkong Bandung
3. Selesai Kejuruan, ditempatkan di Yonkav-2/Sersus Magelang sbg anggota regu.
4. Pada tahun 1961, tugas operasi PRRI di Padang
5. Masih tahun 1961, kursus kejuruan di Padalarang
6. Pada tahun 1962, tugas operasi DI/TII Karto Suwiryo
7. Awal tahun 1963, pendikan Secaba di Padalarang
8. Pada tahun 1964, selesai pendidikan kembali ke satuan asal
9. Tahun 1964 – 1968, menjabat sebagai Danran ( Serda – Serka )
10. Tahun 1968 – 1971, menjabat sebagai Sersan Pleton ( Serka – Serma )
11. Tahun 1971 – 1973, menjabat Danton Kom ( Pelda – Peltu )
12. Pada 1 Maret 1973, pindah ke Kodim 0732/Sleman sebaga Ba Ops
13. Pada tahun 1974 – 1977, pindah ke Primkop Kodim 0732/Sleman
14. Pada tahun 1978 – 1979, menjabat Kaprim Koperasi Kodim 0732/Sleman
15. Pada tahun 1979 – 1980, Danramil Godean dengan pangkat Peltu
16. Pada tahun 1980-1981, Pendidikan secapa di Lembang
17. Selesai pendidikan tahun 81 kembali ke Danramil Godena hingga tahun 1986 dengan pangkat terakhir Lettu
18. Tahun 1986 – 1987 , menjabat Danramil Depok Sleman
19. Tahun 1987 – 1989, menjabat Pasiops Kodim Sleman
20. Tahun 1989 – 1991, menjabat Danramil Sleman Kota
21. Tahun 1991 – 1995, menjabat Danramil Godean. Hingga pensiun
tobe continued ya !!!
Diposting oleh arinugraha di 07.10 3 komentar
08 Juni 2009
Cinta Seorang Ibu
Sang Ibu sering sekali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya . Adapun anaknya mempunyai tabiat yang sangat buruk, yaitu suka mencuri, berjudi,mengadu ayam, dan banyak lagi yang membuat si ibu sering menangis meratapi nasibnya yang malang. Namun begitupun ibu tua itu selalu berdoa kepada Tuhan, “Tuhan tolong Kau sadarkan anakku yang kusayangi, supaya ia tidak berbuat dosa lebih banyak lagi. Aku sudah tua dan aku ingin menyaksikan dia bertobat,sebelum Aku mati.
Namun semakin lama si Anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya. Sudah sangat sering ia keluar masuk bui karena kejahatan yang dilakukannya.
Suatu hari ia kembali mencuri di sebuah rumah penduduk desa. Namun malang nasibnya akhirnya ia tertangkap oleh penduduk yang kebetulan lewat. Kemudian dia dibawa ke hadapan Raja untuk diadili sesuai dengan kebiasaan di Kerajaan tersebut. Setelah ditimbang berdasarkan sudah seringnya ia mencuri, maka tanpa ampun lagi si Anak tersebut dijatuhi hukuman Pancung. Pengumuman hukuman itu disebarkan ke seluruh desa. Hukuman pancung akan dilakukan keesokan harinya didepan rakyat desa dan kerajaan tepat pada saat lonceng Gereja berdentang menandakan pukul enam pagi.
Berita hukuman itu sampai juga ke telinga si Ibu. Dia menangis ,meratapi Anak yang sangat dikasihinya. Sembari berlutut dia berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, Ampunilah Anak Hamba.Biarlah HambaMu yang sudah tua renta ini yang menanggung dosa dan kesalahannya. Dengan tertatih-tatih dia mendatangi Raja dan memohon supaya anaknya dibebaskan, tapi keputusan sudah bulat, si Anak tetap harus menjalani hukuman. Dengan hati hancur si Ibu kembali ke rumah . Tidak berhenti dia berdoa supaya anaknya diampuni.Karena kelelahan dia tertidur dan bermimpi bertemu dengan Tuhan.
Keesokan harinya, ditempat yang sudah ditentukan ,rakyat berbondong-bondong untuk menyaksikan hukuman pancung tersebut. Sang Algojo sudah siap dengan Pancungnya, dan si Anak tadi sudah pasrah menantikan saat ajal menjemputnya. Terbayang di matanya wajah ibunya yang sudah tua, tanpa terasa dia menangis menyesali perbuatannya.
Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Sampai waktu yang ditentukan, lonceng Gereja belum juga berdentang. Suasana mulai berisik. Sudah lima menit lewat dari waktunya. Akhirnya didatangi petugas yang membunyikan lonceng di Gereja. Dia Juga mengaku heran, karena sudah sedari tadi dia menarik lonceng tapi, suara dentangnya tidak ada.
Ketika mereka sedang terheran-heran, tiba-tiba dari tali yang di pegangnya mengalir darah. , darah tersebut datangnya dari atas,berasal dari tempat di mana Lonceng diikat. Dengan jantung berdebar-debar seluruh rakyat menantikan saat beberapa orang naik ke atas menyelidiki sumber darah itu. Tahukah Anda apa yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng besar itu ditemui tubuh si Ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk Bandul di dalam lonceng yang mengakibatkan lonceng tidak berbunyi, sebagai gantinya kepalanya yang terbentur ke dinding lonceng.
Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata . Sementara si Anak meraung-raung memeluk tubuh ibunya yang sudah diturunkan.Dia menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya. Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke Atas dan mengikat dirinya di lonceng tersebut serta memeluk besi di dalam lonceng,untuk menghindari hukuman pancung anaknya.
Demikianlah, sangat jelas kasih seorang ibu untuk anaknya, betapapun jahatnya si Anak. Marilah kita mengasihi orang tua kita masing-masing ,selagi kita masih mampu karena mereka adalah sumber kasih Tuhan bagi kita di Dunia ini. Amin.
Sesuatu untuk dijadikan renungan untuk kita agar selalu mencintai sesuatu yang berharga yang tidak bisa dinilai dengan apapun.
Diposting oleh arinugraha di 16.01 1 komentar