BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

17 Juli 2012

Gunung Gepleng Gancahan

   
        Yang akan saya ceritakan saat ini adalah Gunung Gepleng yang berada di selatan desa Gancahan V Sidomulyo Godean.  Lagi-lagi masyarakat desa tidak melihat ukuran besar kecilnya Gunung, asal ada gundukan tanah yang lebih tinggi dari dataran sekitarnya, maka masyarakat akan menyebutnya sebagai Gunung, bukan menyebutnya Gunung Cilik (Bukit).

       
       Kalau kita menyusuri jalan raya sebelah barat lapangan Sawo Gancahan V menuju ke arah selatan, maka pada jarak sekitar 300 meter dari lapangan Sawo tepatnya 100 meter di sebelah timur jalan raya ditengah persawahan warga, kita akan melihat gundukan tanah yang ditumbuhi pepohonan nan rindang. Bukit yang tingginya tidak sampai 3 meter ini dijuluki dengan Gunung Gepleng. Untuk memasuki lokasi gunung Gepleng, harus meniti pematang sawah. Bagi warga sekitar, meniti pematang sawah sama saja berjalan di tanah datar biasa, bahkan tidak hanya berjalan, disuruh berlaripun mereka akan sanggup. Namun bagi warga perkotaan, jangan coba-coba untuk berlari di pematang sawah, bukannya akan sampai di tempat tujuan, bisa-bisa akan terpeleset dan nyemplung di lumpur sawah.

       Memasuki areal gunung Gepleng, maka disekelilingnya akan terlihat pohon rindang dan semak belukar yang cukup rapat, karena perbatasan antara gunung dan sawah, tanahnya cukup gembur maka pohon bambu dan  pisang juga tampak terlihat subur disekeliling Gunung Gepleng. Untuk memasuki ke areal gunung Gepleng akan lebih mudah bila melalui melalui jalan setapak yang berada di sisi utara dan selatan. Namun bisa juga melalui melalui sisi timur dan barat asal mau menerobos semak berduri dan pohon bambu. Di tengah gunung Gepleng ada sebuah dataran terbuka yang cukup luas untuk mendirikan sebuah rumah. Pertanyaannya … siapa ya yang berani tinggal sendirian di tengah-tengah sawah dan jauh dari tetangga.

                Karena pohonnya cukup rindang, maka di siang hari gunung Gepleng banyak didatangi oleh para petani yang akan beristirahat siang. Mereka menggelar bekal yang telah dibawa dari rumah atau kiriman dari sang istri tercinta untuk bersantap siang. Nyanyian burung pipit, burung gereja dan kicauan burung kutilang terdengar seperti alunan musik klasik, menambah suasana santap siang menjadi nikmat. Walaupun kelihatannya mereka santai dan bercengkrama menikmati santap siang, namun mereka tetap waspada terhadap keadaan sekelilingnya, karena di gunung Gepleng banyak dihuni oleh ular berbisa.

                Karena banyak dihuni ular berbisa,  tak jarang banyak warga datang ke gunung Gepleng untuk berburu ular dan burung, motif mereka beraneka ragam, ada yang bertujuan untuk mencari lauk iwak ulo (daging ular), ada pula yang mencari ular jenis tertentu untuk dijual. Tetanggaku namanya Mas Sutar,  mempunyai hobi menangkap ular. Mulai dari ular yang tidak berbisa sampai yang berbisa dia tangkap. Dia juga pernah menangkap seekor ular berwarna putih yang sempat dipelihara di rumah, namun entah kenapa tak beberapa lama ular itu dilepaskan kembali ke gunung Gepleng.

                Lain lagi ceritanya Klimuk dan Andri, di kampungku mereka dijuluki pemburu sejati. Bermodalkan Senapan angin tanpa teleskop, mereka bisa mendapatkan beberapa ekor tupai dan burung di gunung Gepleng ini. Mereka belajar menembak secara otodidak, namun keahliannya dalam menembak tepat tidak kalah dibandingkan dengan petembak professional lulusan Perbakin, ataupun tentara yang baru lulus dari pendidikan. Sorot mata mereka sangat tajam dan dapat melihat sasaran pada jarak yang jauh.  Kalau mereka sudah berburu, maka tupai dan burung siap-siap untuk masuk ke Wajan….

                Membayangkan suasana gunung Gepleng membuatku serasa kembali ke masa kecilku, ingin rasanya aku menginjakkan kaki disana, menikmati semilirnya angin dan kicauan burung. Kapan ya bisa kesana lagi ????

 by : Ariwibowo
                 
               

04 Juli 2012

Gunung Pule Kemusuk Argomulyo


Gunung Pule saat ini ( Foto kiriman dari Agus Juragan seko Semarang )


             Gunung Pule terletak di pinggir Jalan Raya menuju Desa Kemusuk Kec. Argomulyo Kab. Bantul DIY. Kita ketahui bersama, Kemusuk merupakan desa kelahiran Alm. Bpk. Soeharto. Sekedar intermezo, saya akan sedikit menceritakan Biografi Pak. Harto. Karena Gunung pule ini memiliki kenangan sendiri bagi Alm.  Bpk. Soeharto.

           Pada 8 Juni 1921,  Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul , Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh ayahnya, Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki itu diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya bercerai tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutejo.

          Belum genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena ibunya sakit dan tidak bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari Soeharto kecil untuk berdiri dan berjalan. Soeharto juga sering diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong Soeharto kecil di punggung ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak pernah dilupakan Soeharto. Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.

         Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan. Lalu, pindah ke SD Pedes lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.

Kembali ke Gunung Pule.

           Meskipun lebih pantas disebut bukit pule karena ukurannya yang tidak terlalu besar, namun masyarakat sekitar sudah terlanjur menyebutnya dengan " Gunung Pule ".  Gunung Pule merupakan komplek pemakam keluarga. Di bukit ini telah dimakamkan Ny Sukirah Atemopawiro (Ibunda Alm. Bpk. Soeharto) yang meninggal pada tahun 1946, sedangkan makam ayahandanya berada di Makam Sikepuh, Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul atau 1 kilometer sebelah seletan makam ibudanya

            Karena merupakan makam keluarga dekat Soeharto maka bukit yang tadinya gersang dan angker, telah disulap menjadi komplek pemakaman yang indah dan asri dan terkesan jauh dari suasana angker... ( Bir kalee ). Dan untuk mempertahankan keasrian makam ini maka  gunung Pule mempunyai juru kunci yang setia merawat, menjaga serta membersihkan area pemakaman. Warga sekitar yang ingin sekedar nyekar ataupun ngeyup, harus minta ijin juru kunci terlebih dahulu untuk bisa masuk ke area pemakaman ini.

          Dulu, disaat-saat tertentu, keluarga besar Pak Harto sering nyekar ke makam ini. Yang paling sering datang ke Makam ini adalah Pak. Probosutejo (Adik Pak Harto). Sebelum Pak Probo maupun Pak. Harto datang, R Noto Suwito (Lurah desa Kemusuk / adik kandung Pak. Harto) beserta perangkat Desa setempat sudah sibuk mempersiapkan acara penyambutan rombongan. 

        Nah ritual nyekar Pak Probo inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh warga sekitar, tidak hanya warga kemusuk saja yang datang ke gunung Pule ini, akan tetapi warga Gancahan rela jauh-jauh datang berpanas-panasan untuk menyaksikan kedatangan adik kandung orang nomor-1 di Republik Indonesia ini. Bukan Pak Probo namanya kalau tidak ada acara bagi-bagi uang ke warga, maka setiap selesai nyekar, Pak Probo memerintahkan ajudannya untuk mengeluarkan Koper besar dari  dalam Mobil. Koper itu berisi uang Gepokan. Kala itu nilai rupiah masih cukup tinggi, sehingga uang 3.000 rupiah sudah sangat berarti bagi warga sekitar yang mayoritas sebagai petani. Termasuk sayapun sering ikut masuk nyelip di antrian warga,  pulang sekolah saya rela menahan lapar, haus dan panasnya matahari, demi ikut mengantri jatah saweran dari Pak Probosutejo Sang Konglomerat Kaya dijaman itu. 

          Terakhir kali, Pak Harto sempat nyekar ke makam ini pada tanggal 23 September 2005, Pak Harto nyekar ke makam kedua orang tuanya dengan didampingi Sigit Hardjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Ny Siti Hardiyanti Roekmana atau lebih dikenal dengan sebutan Mbak Tutut dan Mamiek.

Pak Harto didampingi keponakannya Aryo Winoto dan pengawalnya 
menuruni tangga makam Gunung Pule 


Pak Harto bersama Adiknya. R. Noto Suwito ( Pak Wito ) 
dan Pengawal Setianya Letkol CPM (Purn) IGN Suweden mengawal Pak Harto sejak tahun 1982