BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

02 Maret 2009

Kiai Wirodjombo Dono Murah II

NYADRAN DI MAKAM PENGAWAL SULTAN HB I

Nyadran adalah upacara mengirim doa dalam skala besar. Ditujukan untuk arwah leluhur. Prosesinya melibatkan orang sekampung. Di makam makam keramat yang masih diakui daya magisnya, Nyadran dihadiri pula oleh sekelompok komunitas pelaku budaya spiritual. Seperti di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah berikut ini.

POSMO-Nyadran di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah telah berlangsung turun-temurun. Diadakan setiap malam tanggal 20 Ruwah. Namun tahun ini, upacara Nyadran diselenggarakan sehari lebih awal. Rangkaian upacaranya pun berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. Tahun ini, Nyadran di makam pepundhen dusun yang diyakini sebagai pengawal Sultan HB I tersebut disertai dengan kirab gunungan. Di berbagai daerah di kabupaten Sleman dan Bantul, Jogjakarta, kini memang sedang marak dilakukan kirab gunungan pada setiap upacara adat dusun.
Gito Utomo (58), juru kunci makam Kiai Wirodjombo Dono Murah mengatakan, inisiatif mengadakan kirab gunungan itu datang dari para warga. Mulanya, ia mengaku kurang sreg dengan kirab gunungan itu. Sebab, sejak nenek moyang, upacara Nyadran di makam pepundhennya tak pernah menyertakan kirab gunungan. Namun, setelah diadakan kontak batin dengan roh pepundhennya, ternyata kirab gunungan itu diperkenankan.
Dari pantauan posmo, belakangan ini kirab gunungan seperti sedang menjadi trend. Berbagai upacara adat yang ada di wilayah kabupaten Sleman dan Bantul yang semula tak pernah menyertakan gunungan, kini mulai menggunakan gunungan. Beberapa tokoh sepuh mengatakan, kirab gunungan itu lebih ditujukan untuk meningkatkan daya tarik wisata. Padahal, kirab gunungan sebenarnya hanya untuk upacara adat yang memang sejak awal sudah menggunakannya.
Namun selama perubahan prosesi sebuah ritual tak mengurangi kekhidmatan ritualnya, inovasi apa pun tak masalah. Justru menjadi ikon baru yang menunjukkan adanya perkembangan budaya. Demikian kesimpulan yang bisa terangkum dari banyak pendapat para sepuh di berbagai daerah di Sleman dan Bantul.
Begitu pula pendapat Gito Utomo, juru kunci dan rois makam Kiai Wirodjombo yang baru mengalami perubahan prosesi dengan adanya kirab gunungan pada hajatan Nyadran tahun ini. Meski perubahan itu menyedot lebih banyak peserta dan hadirnya Wakil Bupati Sleman, Gito menyayangkan ketidak-hadiran utusan dari Keraton Jogjakarta seperti tahun tahun sebelumnya.

Saudara Tua Mangkubumi
Dari jumlah peserta atau jemaat tahlil, Nyadran di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah tahun ini memang meningkat. Mencapai ribuan orang. Biasanya, Nyadran di makam itu hanya dihadiri oleh ratusan orang, termasuk dari paguyuban pengaosan Selasa Kliwon. Para warga duduk berdesakan di antara nisan, beralaskan tikar atau bekas karung tepung terigu. Doa bersama atau tahlil dan dzikir dipimpin oleh rois Gito Utomo. Dimulai pukul 20.00 WIB dan selesai sekitar tengah malam.
Sesudah tahlil, diadakan pembagian kendhuri berupa nasi gurih lauk ingkung yang telah dikemas dalam ribuan takir kecil. Dipercaya, sejumput nasi gurih dalam takir atau semacam cawan kecil terbuat dari daun pisang itu ada berkahnya. Beberapa orang juga berebut potongan tumpeng, yang pada setiap upacara Nyadran di makam Kiai Wirodjombo itu sejak dulu memang hanya menyertakan 3 tumpeng saja. Gito mengatakan, untuk sesaji khusus di nisan Kiai Wirodjombo tak boleh direbutkan. Sesaji khusus itu adalah tumpeng kecil dan ingkung, kopi dan teh tubruk, rokok klobot serta air putih dan air tajin. Uba rampe itu, menurutnya, merupakan makanan kesukaan Kiai Wirodjombo Dono Murah semasa hidupnya.
Kiai Wirodjombo diyakini sebagai saudara tua Pangeran Mangkubumi. Pertemuan keduanya terjadi saat Pangeran Mangkubumi sedang mencari tempat untuk mendirikan kerajaan baru (Kasultanan Jogjakarta). Dikisahkan Gito, Kiai Wirodjombo gemar memancing ikan di sungai Gagak Suruh. Sungai itu terletak di sebelah Timur makam. Saat itu, dusun Gancahan belum ada.
Ketika keluar dari istana Mataram-Surakarta, BRM. Sujono yang bergelar Pangeran Mangkubumi, putra Sunan Mangkurat IV mencari tempat untuk mendirikan kerajaan baru. Pangeran Mangkubumi melanglang buana, hingga bertemu dengan Kiai Wirodjombo. Pangeran Mangkubumi tidak tahu, bahwa Kiai Wirodjombo itu adalah saudara tuanya, putra Sunan PB I yang lahir dari garwo selir, Nyai Randa Cumbing. Sebaliknya, Kiai Wirodjombo mengenal jati diri Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan terjadi saat Kiai Wirodjombo sedang memancing di sungai Gagak Suruh. Saat itu, Pangeran Mangkubumi melihat tubuh Kiai Wirodjombo bersinar. Setelah saling mengenal, Pangeran Mangkubumi meminta Kiai Wirodjombo menjadi pengawalnya, dan membantu mencari tempat mendirikan kerajaan. Bersama Kiai Wirodjombo itulah, ditemukan tempat yang cocok untuk mendirikan kerajaan baru.
Setelah kerajaan baru yang kemudian dikenal dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat selesai dibangun, Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan HB I. Namun, Kiai Wirodjombo tidak mau tinggal di dalam keraton. Beliau memilih kembali ke padepokannya di pinggir sungai Gagak Suruh yang kini menjadi makamnya. Semasa perang kemerdekaan, tempat kediaman Kiai Wirodjombo itu menjadi kancah peperangan. Siapa pun yang berlindung di padepokannya, selalu terhindar dari terjangan peluru kompeni Belanda. Daerah itu kemudian dinamai dusun Gancahan, dari kata kancah. Ada pun makam Kiai Wirodjombo disebut makam Suruh lantaran dekat dengan sungai Gagak Suruh.
Semasa hidupnya, Kiai Wirodjombo bercocok tanam. Hasilnya dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Dituturkan Gito, di kala itu Kiai Wirodjombo selalu menyediakan tali untuk mengikat kacang panjang dan tanaman lainnya, agar setiap orang mudah membawa hasil bercocok tanamnya. Karena suka berderma, namanya lalu diberi tambahan Dono Murah. Sedang kegemarannya memancing, hingga kini meninggallkan bekas berupa banyaknya kolam pemancingan yang laris. Tempat di mana Kiai Wirodjombo biasa memancing, kini diabadikan dengan menjadikannya bendungan berisi ikan, dan direncanakan akan dibangun sebuah taman pemancingan yang lebih besar.
Sumber : Blog Koko TS

Kyai Wirodjombo Dono Murah Pepunden Cikal Bakal dusun Gancahan

Apa yang tersimpul dari setiap penelusuran sejarah tradisi Nyadran di bulan Ruwah, adalah akulturasi budaya Jawa dan Islam. Sebagai laku budaya, Nyadran di banyak tempat menjadi beragam tata caranya. Namun, intinya tetap sama. Mengirim doa untuk para arwah leluhur dan nenek moyang. Sejak kapan tradisi itu tercipta?

Ruwah adalah bulan sakral bagi kaum Jawa. Bulan ketujuh dari kalender Jawa yang mulai diberlakukan sejak tahun 1555 Saka atau 1633 Masehi. Angka tahun tersebut merupakan saat pertama kalinya kalenderisasi Hindhu (Saka) dibarengkan dengan kalenderisasi Jawa dan Islam (Hijriyah), oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Maka, banyak momen momen penting dan sakral bagi kaum Jawa yang waktunya hampir bersamaan dengan hari hari besar umat Islam. Mulai dari perayaan tahun baru Islam yang bersamaan dengan tahun baru Jawa, Suro, dan bulan penyucian diri menjelang Ramadhan tiba, Ruwah.
Tetapi sebagai laku budaya spiritual, Ruwahan yang selalu diikuti dengan tradisi Nyadran atau mengirim doa untuk para arwah leluhur dan nenek moyang, telah ada sejak zaman pra Hindhu dan Islam. Dengan kata lain, Nyadran merupakan budaya asli Jawa. Demikian menurut Suharjendro, BA, Ketua Bebadan Basa Lan Kabudayan Nataharsana (Bebana) Jogjakarta, yang juga pengajar bahasa Jawa program studi pendidikan guru Universitas Sanata Darma Jogjakarta.
Suharjendro juga mengatakan, kini hampir tak mungkin mengungkap tradisi Nyadran sebagaimana aslinya dahulu. Pasalnya, pergesekan budaya dari zaman ke zaman telah sedemikian banyak merubah keasliannya. Paling pokok, menurutnya, adalah tata cara doanya. Seperti diketahui, kaum asli Jawa memiliki tata cara doa yang berbeda. “Namun, tetap saja doa dipanjatkan kepada Tuhan Yang Esa”, ujarnya saat ditemui di kediamannya. Nyadran, menurutnya, merupakan tradisi asli Jawa yang berakar dari upacara Srada. Artinya menghormati arwah leluhur. Di zaman Majapahit-Hindhu, Srada dilakukan di candi candi karena di sanalah abu jenazah para leluhur disimpan dalam sebuah cupu. “Peran winasis para Wali penyebar agama Islam membuat upacara Srada itu lalu secara halus dan dari zaman ke zaman berubah tata caranya menjadi seperti sekarang”, terangnya, seraya menyambung, tak ada pranata baku terkait Nyadran itu. Sekalipun ada, sambungnya, tak mungkin bisa diterapkan karena keberagaman budaya di masing-masing tempat.

Uba Rampe Wajib
Meski tak ada tata cara baku, Nyadran mensyaratkan sejumlah uba rampe sesaji yang mutlak harus ada. Uba rampe itu adalah apem, ketan dan kolak. Tiga sesaji ini sering dimaknai secara Islami dengan menghubungkannya dengan bahasa Arab. Apem lalu diyakini berasal dari kata Afuan yang berarti ampunan. Ketan dari kata khoto’an yang berarti putih dan suci. Sedangkan kolak dari kata kholaqo yang berarti Sang Pencipta. Ketiga sesaji itu lalu dimaknai sebagai simbol ingat Tuhan dan memohon ampunan supaya bersih dari dosa, yang dilakukan secara khusus dalam sebuah ritual (Nyadran) menjelang datangnya bulan puasa.
Kaum Jawa sendiri mengartikan kolak sebagai ojo ditolak. Artinya, segala permohonan semoga jangan sampai ditolak. Ketan diartikan raket atau rekat, yang mengandung makna agar doa kawulo menyatu atau manunggal dengan Gusti. Di beberapa tempat di Jawa, tiga sesaji pokok itu ditambah dengan tumpeng dan nasi gurih beserta lauk berupa ingkung ayam. Nasi gurih merupakan lambang anugerah Tuhan yang selalu terasa gurih atau nikmat. Demikian terang Gito Utomo (58), juru kunci dan rois makam Kiai Wirodjombo Dono Murah, yang belum lama ini juga menyelenggarakan upacara Nyadran di makam pengawal Sultan HB I tersebut.
Gito menjelaskan, secara pribadi mengirim doa di bulan Ruwah juga dilakukan di makam orangtua masing-masing. Upacara ini disebut nyekar. Dari kata sekar yang berarti bunga. Ada pun Nyadran, merupakan upacara mengirim doa dalam skala besar, melibatkan orang sekampung atau sekelompok masyarakat yang mempercayai adanya makam pepundhen. “Karena itu, Nyadran seringkali digelar di makam makam pepundhen dusun dan waktunya telah ditetapkan. Di dusun kami, Nyadran diselenggarakan di makam Kiai Wirodjombo”, jelasnya.
Kiai Wirodjombo Dono Murah, menurut Gito, adalah pepundhen dan cikal bakal dusun Gancahan, kelurahan Sidomulyo, kecamatan Godean, kabupaten Sleman, Jogjakarta. Nyadran dilakukan untuk mengirimkan doa bagi Kiai Wirodjombo yang telah berjasa menggubak dusun itu dan sekaligus menjadi pengayomnya. Di makam itu, Nyadran dilangsungkan pada Kamis Legi dihadiri oleh sejumlah perangkat desa, dan kali ini dihadiri pula oleh Wakil Bupati Sleman, Drs. H Sri Purnomo.
Diambil dari Blognya Koko TS

Gancahan Tempoe Doeloe


Sampai dengan tahun 1931, di desaku ada sebuah pabrik gula yang terbesar diantara 17 pabrik gula di daerah Yogyakarta. Pabrik-pabrik ini dikelilingi oleh empat dusun yang penuh dengan kompleks perumahan Belanda.

Kompleks pertama terletak di susun Perakbulus. Pimpinan pabriknya yang lebih dikenal dengan sebutan administratuur berada di kompleks ini. Kompleks kedua adalah Dusun Sembuhlor, ketiga dusun Brongkol, dan keempat Dusun Sembuh Wetan. Desa terakhir ini berbatasan dengan dusunku dan hanya dipisahkan jalan beraspal.

Setiap kompleks dibatasi dengan tembok setinggi 3 meter, sehingga ada jarak antara rumah mereka dengan rumah penduduk yang biasa mereka sebut dengan istilah inlander.

Para Belanda ini memang tak mau bergaul, baik Belanda yang tua maupun sinyo, atau noni, anak-anaknya. Hanya seorang saja yang dikenal oleh penduduk di dusunku dan dusun sekeliling, namanya Phillip van Haaster. Tetapi karena banyak penduduk buta huruf, untuk mengucap nama Phillip, mereka sukar. Akhirnya mereka menyebutnya, ‘Sinyo Plipik’.

Dialah satu-satunya anak Belanda yang suka ke luar masuk rumah penduduk. Apa sebabnya ? Sampai disini terpaksa aku harus menceritakan kehidupan penduduk di desaku, yang selain petani juga banyak yang bekerja di pabrik-pabrik, maupun perkebunan tebu.

Tetapi untuk memnuhi kebutuhan sendiri, pada umumnya mereka menyadap pohon kelapa, yang istilah Jawanya disebut nderes, menyadap mira dari bunga kelapanya. Ini harus dilakukan dengan memanjat pohon kelapa dua kali sehari pagi dan sore, dan tidak boleh lowong.

Miranya diproses secara sangat sederhana. Setelah dimasak dengan api dari dedaunan kering yang sangat banyak, setelah cukup matang, miranya dicetak dengan pecahan tempurung kelapa. Tempurung kelapa ini dibelah menjadi dua, dan dibawahnya diberi lubangi sekitar 1 cm.

Lubang itu kemudian ditutup dengan sepotong daun pisang, dan mira yang telah berubah warnanya menjadi kemarahan ini, dituang ke atas belahan tempurung kelapa tadi. Tempurung tersebut sebelumnya diletakan di atas anyaman bambu yang paling sedikit mampu menampung 20 belahan tempurung.

Kerak mira yang melekat pada belanga tanah, dan tidak dicetak menjadi gula, disebut gulali. Gulali ini biasanya diberikan kepada anak-anak. Gulali inilah yang menyebabkan Sinyo Plipik keluar masuk rumah penduduk.

Tanpa malu-malu ia meminta gulali ini. Pada liburan sekolah, ia makin kerap keluar masuk. Dia berkeliaran di dusun dengan otopet, yang bentuknya seperti sepeda tetapi tanpa pedal dan tempat duduk. Dan antara orang depan dan roda belakang dipasang papan berukuran 15 x 40 cm.

Kendati kerap keluar masuk rumah meminta gulali, Sinyo Plipik ini kurang ajar sekali. Seringkali ia memukul anak penduduk, dan tidak segan-segan berebut gulali milik mereka. Dan ini terjadi di depan mataku, ketika itu aku masih duduk di kelas tujuh. Ia bersekolah di Europische School, sedang aku di HJS.

Waktu itu sekolah tengah libur. Ayah sedang memimpin rapat pamong desa, dan aku bersama 5 anak-anak tetangga sedang bermain kelereng.
Permainan kami juga ditonton oleh beberapa anak lelaki dan perempuan. Diantara mereka, ada Pairah yang sambil menonton memegang gulali.

Tiba-tiba tanpa kami duga muncul Sinyo Plipik dengan otopetnya, ia langsung menuju ke arah kami. Tanpa kami duga juga, dia merebut gulali Pairah. Keruan saja Pairah menjerit, sementara Plipik, karena stang otopetnya hanya dipegang dengan sebelah tangan, oleng dan menabrak Jiman.

Jiman saat itu tengah berjongkok, dengan tangan kanan memegang kelereng yang ditujukan kepada kelerengku.Jiman terjatuh rebah ke tanah, dengan teriak kesakitan. Tapi justru Sinyo Plipik memakinya, “God verdomme zeg jij inlander !”.

Otopetnya menabrak pagar bambu kebunku. Dan karena kekurang ajaran itu, dia kukejar dan kuhantam tiga kali. Oleh keributan itu, rapat pamong bubar, mereka berlari ke arah kami, juga para tetangga lainnya.
Penduduk sudah tahu jika Plipik memang kurang ajar.

Lewat jam 13.00, sebuah mobil Ford masuk ke halaman rumahku, ternyata van Haaster bersama Phillip dan 3 orang polisi. Dua orang sudah kami kenal, yakni Paman Harjoprawoto, yang ayahnya adalah adik kakekku. Seorang lagi Joyomuji, yang juga sudah dikenal rakyat di dusunku, dia satu desa dengan kami. Cuma seorang yang belum kami kenal.

Plipik langsung menunjuk dengan mengatakan bahwa aku yang menempeleng dia. Tetangga sekeliling pun berdatangan, anak-anak membenarkan keteranganku. Dan tiada seorang pun yang membela Plipik, polisi pun tidak bisa menjadikannya perkara.

Van Haaster marah karena ‘hanya’ inlander kok berani sama anak Belanda. Haaster mengancam ayah akan dipecat. Tiga hari berikutnya ayah dipanggil pak camat dan pak wedana, tetapi pamongnya membela ayah, dan jelas yang diperkarakan adalah kejadian dengan Sinyo Plipik ini.

Pendeta J. Backer yang menggantikan van Aanlar beserta Pendeta Sudarmo dan Penginjil Adam Tomas penggantinya Raden Cokroatmojo, mencari keterangan mengapa sampai aku berkelahi dengan anak Belanda.

Belum sampai setengah bulan, Kanjeng Bupati Sleman memanggil ayah beserta anak-anak yang terlibat dan orang tuanya. Ketiga polisi tadi pun datang, sebaliknya pihak belanda tidak datang. Akhirnya Pak Bupati berkata, “Cuma Belanda pabrik, kok mau memecat lurah. Tidak bisa, yang berwenang memecat itu aku, dan aku tak akan memecat Lurah Kertowiharjo”

2
Kisah ini terjadi aku kelas 2 SMP, yang ketika itu masih bernama MULO (Middelbare Univeshele Lager Onderwijs), tahun 1942 ketika Pemerintah Hindia Belanda kalah dalam perang dunia dengan tentara Dai Nippon (Jepang).

Rakyat desaku yang masih 99% buta huruf. Anak-anak yang sekolah di “Sekolah Ongko Loro” yakni SD 5 tahun, dan belum tentu setiap dusun mempunyai anak-anak yang sekolah. Kalu mau dihitung yah, tidak lebih dari jari kedua tangan.

Pengetahuan politik ? kami tidak tahu itu. Aku pernah dengar percakapan orang yang bertanya, makanan apa sih yang namanya ‘politik’ itu ? Tetapi satu, yang sama pada setiap orang yakni dendam terhadap Belanda., khususnya orang-orang Belanda Pabrik Gula Rewulu yang terletak di desaku Sidomulyo, Godean Sleman Yogyakarta.

Belanda sebagai penjajah memang kejam. Meskipun kompleks perumahannya hanya dibatasi dengan sebuah dinding yang Cuma 3 meter tingginya, mereka samasekali tak mau bergaul dengan pribumi. Para pekerjanya, baik di pabrik, di lapangan pemasang-pemasang rel lori, dan di perkebunan tebu; tidak pernah menunjukkan sikap bersahabat.

Para pekerja Belanda ini yang terbanyak tinggal di desaku. Meskipun dengan tetangga yang jarak rumahnya hanya beberapa meter saja, mereka tak mau bertegur sapa. Mereka bersikap sebagai penjajah, penduduk harus memanggilnya dengan sebutan ‘ndoro tuan’ yang artinya ‘tuan yang terhormat’.

Kalau seseorang yang lewat di jalan yang di depan rumahnya berbicara keras memanggil orang lain, atau berlari atau berjalan dengan langkah tegap, pasti dimaki-maki. Misalnya, sore hari jika para Belanda itu sedang duduk-duduk di teras, atau sedang ada tamu; para pribumi dilarang memandang ke arah mereka, jika kami melakukannya pasti dicaci-maki.

Bulan Mei (seingatku) Gubernur Jendral van Mook, bertekuk lutut pada Tentara Dai Nipon. Berita itu, tersiar luas dengan cepat. Orang dari desaku, ada beberapa yang bekerja di kota, beberapa perempuan yang berdagang di Pasar Beringharjo; mengatakan bahwa di halaman Gedung Agung dan di Benteng Vrijdenburg tidak lagi dikibarkan bendera Belanda.

Tiga hari setelahnya, ada berita lain mereka bawakan, mereka mengatakan bahwa tentara Dai Nipon sudah tiba di Yogyakarta. Entah siapa yang mengomando, beberapa orang pemuda membuat kentongan dari bambu. Jam 20.00, para pemuda sudah berkumpul di rumahku. Lebih dari 25 orang, setiap orang membawa kentongan bambu yang suaranya berbeda-beda.

Sejam kemudian, rombongan itu meninggalkan rumahku dan mulai memukul kentongan dengan irama meronda. Beberapa orang tua mengomel karena tidak tahu, mengapa baru jam sembilan kok sudah keliling kampung.

Tetapi manakala rombongan kami semakin menjauh dan memasuki kompleks perumahan Belanda, mereka mulai mengerti. Dan ternyata dari Dusun Sembuh Wetan, juga muncul rombongan lain dengan jumlah lebih banyak, kira-kira 40 orang. Jadi rombongan kami pun menjadi lebih besar.

Ketika mulai memasuki kompleks, kentongan kami pukul lebih keras lagi. Biasanya, menghadapi situasi seperti ini, pasti para Belanda ini sudah marah-marah. Kini bukan Belanda yang marah-marah, tetapi kami berteriak-teriak.

“Melek-melek, Jepange teka nagkep Londo (berjaga-jagalah orang jepang dating untuk menangkap orang Belanda)”. Kata-kata lantang dilontarkan tanpa segan-segan lagi. Doornick yang rumahnya paling ujung, dan paling besar -karena jabatannya sebagai sinder kepala kebun, membuka pintu depan.

Kami mengira dia akan marah-marah, tetapi tak apa, itu akan menambah keberanian kami. Suara kentongan bambu, disertai yel-yel yang menghina Belanda, membuat dusun menjadi sangat gaduh. Sadar akan situasi itu, Doornick menutup pintu kembali. Ketakutan Doornick membesarkan semangat kami.

Sinyo Plipik yang dikenal kurang ajar, tak urung jadi sasaran. “Plipik, keluarlah, Plipik keluarlah hadapi kami “Plipik gombal, Belanda gombal, Doornick gombal,” ucapan-ucapan hinaan dilontarkan dengan bebas.

Pasukan kentongan bergerak ke kompleks lainnya, di setiap kompleks perumahan, pasti disebut-sebut nama-nama Belanda yang dikenal jahat, mereka diejek dan dihina. Dan kami terus bergerak dari kompleks ke kompleks, dan baru pulang menjelang pukul 4 dini hari.

Orang-orang Belanda di keempat kompleks itu pasti tidak bisa tidur. Dan berkeliling dengan kentongan dan ejekan ini, kami lakukan sampai seminggu. Dan baru kami hentikan setelah tentara Jepang datang dengan membawa dua truk militer, untuk mengangkut orang-orang Belanda.

Peristiwa itu disaksikan oleh orang banyak. Tampak sekali semuanya tampak loyo dan lunglai. Tak seorang pun yang tampak ceria. Semuanya keluar dari rumah. Tak seorang pun yang berani memandang kami yang sedang menonton. Semuanya menunduk, berjalan dengan kopor dan tas. Di belakangnya Tentara Jepang yang tampak sebagai pemenang.

Dapat dimengerti, betapa perasaan orang-orang Belanda ini, dan bagaimana rasanya setelah selama seminggu tidak diberi kesempatan untuk tidur. Dan kalau siang pun tidak sedikit orang lewat di depan komplek dengan berteriak-teriak yang dulu tak pernah berani melakukannya.

Aku juga ikut beraktivitas meronda karena sekolah diliburkan, karena tidak perlu belajar, maka aku selalu ikut meronda. Dan ikut meneriakkan yel-yel menghina Belanda yang dulunya selalu merasa penjajah, kini terbalik 180 derajat.

Ketika semua Belanda pabrik diangkut dengan truk, kami menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Sampai disini, bagiku yang baru kelas kelas dua SMP, mulai tumbuh pengertian, meskipun tanpa propaganda dan tanpa orasi; rasa bersatu menentang Belanda terwujud. Meskipun hanya dengan tindakan persatuan dengan kentongan. Inilah kenyataan bahwa orang desa yang buta huruf dan buta politik pun tidak mau dijajah.

Dikutip dari Tulisan Bpk. Sutarjo W S. Miss pada 23 Maret 2006