NYADRAN DI MAKAM PENGAWAL SULTAN HB I
Nyadran adalah upacara mengirim doa dalam skala besar. Ditujukan untuk arwah leluhur. Prosesinya melibatkan orang sekampung. Di makam makam keramat yang masih diakui daya magisnya, Nyadran dihadiri pula oleh sekelompok komunitas pelaku budaya spiritual. Seperti di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah berikut ini.
POSMO-Nyadran di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah telah berlangsung turun-temurun. Diadakan setiap malam tanggal 20 Ruwah. Namun tahun ini, upacara Nyadran diselenggarakan sehari lebih awal. Rangkaian upacaranya pun berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. Tahun ini, Nyadran di makam pepundhen dusun yang diyakini sebagai pengawal Sultan HB I tersebut disertai dengan kirab gunungan. Di berbagai daerah di kabupaten Sleman dan Bantul, Jogjakarta, kini memang sedang marak dilakukan kirab gunungan pada setiap upacara adat dusun.
Gito Utomo (58), juru kunci makam Kiai Wirodjombo Dono Murah mengatakan, inisiatif mengadakan kirab gunungan itu datang dari para warga. Mulanya, ia mengaku kurang sreg dengan kirab gunungan itu. Sebab, sejak nenek moyang, upacara Nyadran di makam pepundhennya tak pernah menyertakan kirab gunungan. Namun, setelah diadakan kontak batin dengan roh pepundhennya, ternyata kirab gunungan itu diperkenankan.
Dari pantauan posmo, belakangan ini kirab gunungan seperti sedang menjadi trend. Berbagai upacara adat yang ada di wilayah kabupaten Sleman dan Bantul yang semula tak pernah menyertakan gunungan, kini mulai menggunakan gunungan. Beberapa tokoh sepuh mengatakan, kirab gunungan itu lebih ditujukan untuk meningkatkan daya tarik wisata. Padahal, kirab gunungan sebenarnya hanya untuk upacara adat yang memang sejak awal sudah menggunakannya.
Namun selama perubahan prosesi sebuah ritual tak mengurangi kekhidmatan ritualnya, inovasi apa pun tak masalah. Justru menjadi ikon baru yang menunjukkan adanya perkembangan budaya. Demikian kesimpulan yang bisa terangkum dari banyak pendapat para sepuh di berbagai daerah di Sleman dan Bantul.
Begitu pula pendapat Gito Utomo, juru kunci dan rois makam Kiai Wirodjombo yang baru mengalami perubahan prosesi dengan adanya kirab gunungan pada hajatan Nyadran tahun ini. Meski perubahan itu menyedot lebih banyak peserta dan hadirnya Wakil Bupati Sleman, Gito menyayangkan ketidak-hadiran utusan dari Keraton Jogjakarta seperti tahun tahun sebelumnya.
Saudara Tua Mangkubumi
Dari jumlah peserta atau jemaat tahlil, Nyadran di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah tahun ini memang meningkat. Mencapai ribuan orang. Biasanya, Nyadran di makam itu hanya dihadiri oleh ratusan orang, termasuk dari paguyuban pengaosan Selasa Kliwon. Para warga duduk berdesakan di antara nisan, beralaskan tikar atau bekas karung tepung terigu. Doa bersama atau tahlil dan dzikir dipimpin oleh rois Gito Utomo. Dimulai pukul 20.00 WIB dan selesai sekitar tengah malam.
Sesudah tahlil, diadakan pembagian kendhuri berupa nasi gurih lauk ingkung yang telah dikemas dalam ribuan takir kecil. Dipercaya, sejumput nasi gurih dalam takir atau semacam cawan kecil terbuat dari daun pisang itu ada berkahnya. Beberapa orang juga berebut potongan tumpeng, yang pada setiap upacara Nyadran di makam Kiai Wirodjombo itu sejak dulu memang hanya menyertakan 3 tumpeng saja. Gito mengatakan, untuk sesaji khusus di nisan Kiai Wirodjombo tak boleh direbutkan. Sesaji khusus itu adalah tumpeng kecil dan ingkung, kopi dan teh tubruk, rokok klobot serta air putih dan air tajin. Uba rampe itu, menurutnya, merupakan makanan kesukaan Kiai Wirodjombo Dono Murah semasa hidupnya.
Kiai Wirodjombo diyakini sebagai saudara tua Pangeran Mangkubumi. Pertemuan keduanya terjadi saat Pangeran Mangkubumi sedang mencari tempat untuk mendirikan kerajaan baru (Kasultanan Jogjakarta). Dikisahkan Gito, Kiai Wirodjombo gemar memancing ikan di sungai Gagak Suruh. Sungai itu terletak di sebelah Timur makam. Saat itu, dusun Gancahan belum ada.
Ketika keluar dari istana Mataram-Surakarta, BRM. Sujono yang bergelar Pangeran Mangkubumi, putra Sunan Mangkurat IV mencari tempat untuk mendirikan kerajaan baru. Pangeran Mangkubumi melanglang buana, hingga bertemu dengan Kiai Wirodjombo. Pangeran Mangkubumi tidak tahu, bahwa Kiai Wirodjombo itu adalah saudara tuanya, putra Sunan PB I yang lahir dari garwo selir, Nyai Randa Cumbing. Sebaliknya, Kiai Wirodjombo mengenal jati diri Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan terjadi saat Kiai Wirodjombo sedang memancing di sungai Gagak Suruh. Saat itu, Pangeran Mangkubumi melihat tubuh Kiai Wirodjombo bersinar. Setelah saling mengenal, Pangeran Mangkubumi meminta Kiai Wirodjombo menjadi pengawalnya, dan membantu mencari tempat mendirikan kerajaan. Bersama Kiai Wirodjombo itulah, ditemukan tempat yang cocok untuk mendirikan kerajaan baru.
Setelah kerajaan baru yang kemudian dikenal dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat selesai dibangun, Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan HB I. Namun, Kiai Wirodjombo tidak mau tinggal di dalam keraton. Beliau memilih kembali ke padepokannya di pinggir sungai Gagak Suruh yang kini menjadi makamnya. Semasa perang kemerdekaan, tempat kediaman Kiai Wirodjombo itu menjadi kancah peperangan. Siapa pun yang berlindung di padepokannya, selalu terhindar dari terjangan peluru kompeni Belanda. Daerah itu kemudian dinamai dusun Gancahan, dari kata kancah. Ada pun makam Kiai Wirodjombo disebut makam Suruh lantaran dekat dengan sungai Gagak Suruh.
Semasa hidupnya, Kiai Wirodjombo bercocok tanam. Hasilnya dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Dituturkan Gito, di kala itu Kiai Wirodjombo selalu menyediakan tali untuk mengikat kacang panjang dan tanaman lainnya, agar setiap orang mudah membawa hasil bercocok tanamnya. Karena suka berderma, namanya lalu diberi tambahan Dono Murah. Sedang kegemarannya memancing, hingga kini meninggallkan bekas berupa banyaknya kolam pemancingan yang laris. Tempat di mana Kiai Wirodjombo biasa memancing, kini diabadikan dengan menjadikannya bendungan berisi ikan, dan direncanakan akan dibangun sebuah taman pemancingan yang lebih besar.
Nyadran adalah upacara mengirim doa dalam skala besar. Ditujukan untuk arwah leluhur. Prosesinya melibatkan orang sekampung. Di makam makam keramat yang masih diakui daya magisnya, Nyadran dihadiri pula oleh sekelompok komunitas pelaku budaya spiritual. Seperti di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah berikut ini.
POSMO-Nyadran di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah telah berlangsung turun-temurun. Diadakan setiap malam tanggal 20 Ruwah. Namun tahun ini, upacara Nyadran diselenggarakan sehari lebih awal. Rangkaian upacaranya pun berbeda dengan tahun tahun sebelumnya. Tahun ini, Nyadran di makam pepundhen dusun yang diyakini sebagai pengawal Sultan HB I tersebut disertai dengan kirab gunungan. Di berbagai daerah di kabupaten Sleman dan Bantul, Jogjakarta, kini memang sedang marak dilakukan kirab gunungan pada setiap upacara adat dusun.
Gito Utomo (58), juru kunci makam Kiai Wirodjombo Dono Murah mengatakan, inisiatif mengadakan kirab gunungan itu datang dari para warga. Mulanya, ia mengaku kurang sreg dengan kirab gunungan itu. Sebab, sejak nenek moyang, upacara Nyadran di makam pepundhennya tak pernah menyertakan kirab gunungan. Namun, setelah diadakan kontak batin dengan roh pepundhennya, ternyata kirab gunungan itu diperkenankan.
Dari pantauan posmo, belakangan ini kirab gunungan seperti sedang menjadi trend. Berbagai upacara adat yang ada di wilayah kabupaten Sleman dan Bantul yang semula tak pernah menyertakan gunungan, kini mulai menggunakan gunungan. Beberapa tokoh sepuh mengatakan, kirab gunungan itu lebih ditujukan untuk meningkatkan daya tarik wisata. Padahal, kirab gunungan sebenarnya hanya untuk upacara adat yang memang sejak awal sudah menggunakannya.
Namun selama perubahan prosesi sebuah ritual tak mengurangi kekhidmatan ritualnya, inovasi apa pun tak masalah. Justru menjadi ikon baru yang menunjukkan adanya perkembangan budaya. Demikian kesimpulan yang bisa terangkum dari banyak pendapat para sepuh di berbagai daerah di Sleman dan Bantul.
Begitu pula pendapat Gito Utomo, juru kunci dan rois makam Kiai Wirodjombo yang baru mengalami perubahan prosesi dengan adanya kirab gunungan pada hajatan Nyadran tahun ini. Meski perubahan itu menyedot lebih banyak peserta dan hadirnya Wakil Bupati Sleman, Gito menyayangkan ketidak-hadiran utusan dari Keraton Jogjakarta seperti tahun tahun sebelumnya.
Saudara Tua Mangkubumi
Dari jumlah peserta atau jemaat tahlil, Nyadran di makam Kiai Wirodjombo Dono Murah tahun ini memang meningkat. Mencapai ribuan orang. Biasanya, Nyadran di makam itu hanya dihadiri oleh ratusan orang, termasuk dari paguyuban pengaosan Selasa Kliwon. Para warga duduk berdesakan di antara nisan, beralaskan tikar atau bekas karung tepung terigu. Doa bersama atau tahlil dan dzikir dipimpin oleh rois Gito Utomo. Dimulai pukul 20.00 WIB dan selesai sekitar tengah malam.
Sesudah tahlil, diadakan pembagian kendhuri berupa nasi gurih lauk ingkung yang telah dikemas dalam ribuan takir kecil. Dipercaya, sejumput nasi gurih dalam takir atau semacam cawan kecil terbuat dari daun pisang itu ada berkahnya. Beberapa orang juga berebut potongan tumpeng, yang pada setiap upacara Nyadran di makam Kiai Wirodjombo itu sejak dulu memang hanya menyertakan 3 tumpeng saja. Gito mengatakan, untuk sesaji khusus di nisan Kiai Wirodjombo tak boleh direbutkan. Sesaji khusus itu adalah tumpeng kecil dan ingkung, kopi dan teh tubruk, rokok klobot serta air putih dan air tajin. Uba rampe itu, menurutnya, merupakan makanan kesukaan Kiai Wirodjombo Dono Murah semasa hidupnya.
Kiai Wirodjombo diyakini sebagai saudara tua Pangeran Mangkubumi. Pertemuan keduanya terjadi saat Pangeran Mangkubumi sedang mencari tempat untuk mendirikan kerajaan baru (Kasultanan Jogjakarta). Dikisahkan Gito, Kiai Wirodjombo gemar memancing ikan di sungai Gagak Suruh. Sungai itu terletak di sebelah Timur makam. Saat itu, dusun Gancahan belum ada.
Ketika keluar dari istana Mataram-Surakarta, BRM. Sujono yang bergelar Pangeran Mangkubumi, putra Sunan Mangkurat IV mencari tempat untuk mendirikan kerajaan baru. Pangeran Mangkubumi melanglang buana, hingga bertemu dengan Kiai Wirodjombo. Pangeran Mangkubumi tidak tahu, bahwa Kiai Wirodjombo itu adalah saudara tuanya, putra Sunan PB I yang lahir dari garwo selir, Nyai Randa Cumbing. Sebaliknya, Kiai Wirodjombo mengenal jati diri Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan terjadi saat Kiai Wirodjombo sedang memancing di sungai Gagak Suruh. Saat itu, Pangeran Mangkubumi melihat tubuh Kiai Wirodjombo bersinar. Setelah saling mengenal, Pangeran Mangkubumi meminta Kiai Wirodjombo menjadi pengawalnya, dan membantu mencari tempat mendirikan kerajaan. Bersama Kiai Wirodjombo itulah, ditemukan tempat yang cocok untuk mendirikan kerajaan baru.
Setelah kerajaan baru yang kemudian dikenal dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat selesai dibangun, Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan HB I. Namun, Kiai Wirodjombo tidak mau tinggal di dalam keraton. Beliau memilih kembali ke padepokannya di pinggir sungai Gagak Suruh yang kini menjadi makamnya. Semasa perang kemerdekaan, tempat kediaman Kiai Wirodjombo itu menjadi kancah peperangan. Siapa pun yang berlindung di padepokannya, selalu terhindar dari terjangan peluru kompeni Belanda. Daerah itu kemudian dinamai dusun Gancahan, dari kata kancah. Ada pun makam Kiai Wirodjombo disebut makam Suruh lantaran dekat dengan sungai Gagak Suruh.
Semasa hidupnya, Kiai Wirodjombo bercocok tanam. Hasilnya dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Dituturkan Gito, di kala itu Kiai Wirodjombo selalu menyediakan tali untuk mengikat kacang panjang dan tanaman lainnya, agar setiap orang mudah membawa hasil bercocok tanamnya. Karena suka berderma, namanya lalu diberi tambahan Dono Murah. Sedang kegemarannya memancing, hingga kini meninggallkan bekas berupa banyaknya kolam pemancingan yang laris. Tempat di mana Kiai Wirodjombo biasa memancing, kini diabadikan dengan menjadikannya bendungan berisi ikan, dan direncanakan akan dibangun sebuah taman pemancingan yang lebih besar.
Sumber : Blog Koko TS